Sunday, October 28, 2012

Sebuah Tanya ( Karya Soe Hok Gie)


taken from google.com


Akhirnya semua akan tiba
Pada suatu hari yang biasa
Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui

Apakah kau masih berbicara selembut dahulu
Memintaku minum susu dan tidur yang lelap
Sambil membenarkan letak leher kemejaku

Kabut tipis pun turun pelan-pelan
Di lembah kasih, lembah Mandalawangi
Kau dan aku tegak berdiri
Melihat hutan-hutan yang menjadi suram
Meresapi belaian angin yang menjadi dingin

Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
Ketika kudekap kau
Dekaplah lebih mesra, lebih dekat

Saturday, October 20, 2012

Dear You...


“Selamat datang! Untuk berapa orang, kak?”
“Dua orang”
“Mau di luar atau di dalam, kak?”
“Di dalam saja”
“Baik, mari silahkan saya antar ke mejanya”


Malam ini aku melangkah ke dalam sebuah café bergaya Italia. Cahaya kekuningan yang remang-remang menghiasi bagian dalam dan luar café ini. Tembok-tembok bata tanpa cat yang tersusun rapi berwarna merah menjadi tema tiap sudut dinding yang ada. Sofa-sofa berwarna kuning gading dan meja kayu berwarna cokelat tertata di seluruh penjuru ruangan. Aku melangkah mengikuti pelayan café menuju sebuah meja yang terletak di dekat jendela. Aku duduk sembari membaca menu yang di berikan oleh pelayan, membalik tiap halaman dan memilih thai-tea sebagai pesanan perdana ku.


Menunggu dan terus menunggu sampai pesanan ku datang, ku tatap keluar jendela. Aku tertegun dalam keindahan lampu kota yang menghiasi pemandangan. Warna-warni lampu jalan, rumah-rumah, dan kendaraan sangat serasi dan enak dipandang. Bintang-bintang yang tadinya bersembunyi di balik awan pun mulai bermunculan. Membangkitkan sisi romantis yang selama ini sangat ku rindukan.


Lamunan ku terganggu saat pelayan datang membawa minuman pesananku. Kulihat sekeliling meja, banyak tamu yang berpasangan. Sedangkan aku saat ini hanya menikmati tiap teguk minuman tanpa ada kawan. Masih tetap seperti hari-hari kemarin saat aku kesepian dan merasa kehilangan.

Gerbong Kereta #9

Cinta itu perjuangan, tidak pernah ada yang namanya instan. Saat kedua hati saling jatuh cinta, mereka pasti akan berjuang bersama-sama untuk membangun sebuah hubungan. Semua tentang cinta memang belum tentu berakhir dengan indah, tapi itu lah keunikan cinta. Semua orang ingin dicintai, semua orang pasti mencintai. Cinta itu cukup membutakan mata dan mampu mengacaukan segala logika bagi orang-orang yang merasakannya. Tidak sampai di situ saja, cinta juga kadang memabukkan. Ya, hanya cinta yang bisa.


Begitu juga dengan hati dan perasaanku yang tersihir oleh makhluk Tuhan bernama wanita. Perkenalkan, namaku Radit. Lebih sering di panggil Adit. Ini cerita tentang perjuangan. Dimana cinta membawa kita pada seseorang yang tepat, bukan yang sempat.


Cerita ini berawal saat aku mulai mengenal seorang perempuan bernama Rahmaaa, namanya Rahma tapi aku panggil Rahmaaa. Buat yang belum paham, Rahmaaa itu nama panggilan, Rahma itu nama aslinya. Jadi Rahmaaa adalah panggilanku untuknya. Intinya dia Rahmaaa.


Rahmaaa adalah seorang perempuan manis dengan kulit kuning gelap khas orang-orang jawa. Rambutnya panjang dengan poni rapi yang tampak serasi seperti tirai menutupi jidatnya. Lesung di pipi kanannya menambah keindahan senyumnya, jelas berbagai macam pria mampu tersirih olehnya. Rahmaaa memiliki tinggi 167cm dan berat badan 43kg, ramping dan tentu saja tinggi untuk ukuran perempuan Indonesia. Anaknya baik, perhatian, tulus, sedikit manja, sedikit kekanak-kanakan dan tentu saja lovable banget. 

Saturday, October 13, 2012

Loser



Aku termenung di atas karang
memandang luas lautan
menikmati keserasian alam ini

Malam ini hujan turun dengan derasnya
"SIALAN!", aku mulai mengumpat
Aku kesal dengan keadaan
Keadaan yang amat sangat merugikan

Friday, October 12, 2012

Prolog


September 2010

“Dit, kamu enggak bisa gitu! Semaunya aja!”, Icha tiba-tiba berteriak.
“Cha, kamu harus ngertiin kondisinya. Ini demi kita berdua...”,
“Kita berdua Dit??? Maksud kamu dirimu? Enggak! Aku tetap enggak setuju!”,
“Tapi Cha...”
“Enggak! TITIK!!!”, belum sempat aku menjelaskan tiba-tiba saja Icha memotong kata-kataku. Dia lalu berdiri dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan ku.

“CHA!! Tunggu, Cha!”, kata ku. Sayang Icha dengan sigap meninggalkan ku terduduk sendirian di cafe itu. Puluhan pasang mata melihat ku karena pertengkaran ini, malu, ya aku malu. Tapi lebih dari itu aku merasa benar-benar kecewa atas hal yang terjadi.

Aku yang berumur 22 tahun saat itu memiliki rencana untuk mencari beasiswa S2 di luar negeri. Hal ini aku rencanakan untuk membuat bangga orang tua aku, karena selama ini orang tua aku enggak pernah menunjukkan rasa bangga memiliki anak seperti diriku. Walaupun nilai ku selama sekolah sampai kuliah terbilang baik, tapi mereka seperti tidak memperdulikan aku. Mereka cuek, bahkan saat aku wisuda pun mereka tidak datang karena urusan masing-masing.