September
2010
“Dit, kamu enggak bisa gitu!
Semaunya aja!”, Icha tiba-tiba berteriak.
“Cha, kamu harus ngertiin
kondisinya. Ini demi kita berdua...”,
“Kita berdua Dit??? Maksud kamu
dirimu? Enggak! Aku tetap enggak setuju!”,
“Tapi Cha...”
“Enggak! TITIK!!!”, belum sempat
aku menjelaskan tiba-tiba saja Icha memotong kata-kataku. Dia lalu
berdiri dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan ku.
“CHA!! Tunggu, Cha!”, kata ku.
Sayang Icha dengan sigap meninggalkan ku terduduk sendirian di cafe
itu. Puluhan pasang mata melihat ku karena pertengkaran ini, malu, ya
aku malu. Tapi lebih dari itu aku merasa benar-benar kecewa atas hal
yang terjadi.
Aku yang berumur 22 tahun saat itu
memiliki rencana untuk mencari beasiswa S2 di luar negeri. Hal ini
aku rencanakan untuk membuat bangga orang tua aku, karena selama ini
orang tua aku enggak pernah menunjukkan rasa bangga memiliki anak
seperti diriku. Walaupun nilai ku selama sekolah sampai kuliah
terbilang baik, tapi mereka seperti tidak memperdulikan aku. Mereka
cuek, bahkan saat aku wisuda pun mereka tidak datang karena urusan
masing-masing.