“Selamat
datang! Untuk berapa orang, kak?”
“Dua orang”
“Mau di luar
atau di dalam, kak?”
“Di dalam
saja”
“Baik, mari
silahkan saya antar ke mejanya”
Malam ini aku
melangkah ke dalam sebuah café bergaya Italia. Cahaya kekuningan yang
remang-remang menghiasi bagian dalam dan luar café ini. Tembok-tembok bata
tanpa cat yang tersusun rapi berwarna merah menjadi tema tiap sudut dinding
yang ada. Sofa-sofa berwarna kuning gading dan meja kayu berwarna cokelat
tertata di seluruh penjuru ruangan. Aku melangkah mengikuti pelayan café menuju
sebuah meja yang terletak di dekat jendela. Aku duduk sembari membaca menu yang
di berikan oleh pelayan, membalik tiap halaman dan memilih thai-tea sebagai pesanan perdana ku.
Menunggu dan
terus menunggu sampai pesanan ku datang, ku tatap keluar jendela. Aku tertegun
dalam keindahan lampu kota yang menghiasi pemandangan. Warna-warni lampu jalan,
rumah-rumah, dan kendaraan sangat serasi dan enak dipandang. Bintang-bintang
yang tadinya bersembunyi di balik awan pun mulai bermunculan. Membangkitkan
sisi romantis yang selama ini sangat ku rindukan.
Lamunan ku
terganggu saat pelayan datang membawa minuman pesananku. Kulihat sekeliling
meja, banyak tamu yang berpasangan. Sedangkan aku saat ini hanya menikmati tiap
teguk minuman tanpa ada kawan. Masih tetap seperti hari-hari kemarin saat aku
kesepian dan merasa kehilangan.
Sebuah pesan
masuk ke dalam handphone ku, membuyarkan segala pikiranku. Sebuah
pesan yang telah cukup lama ku tunggu dari dirinya. Sosok wanita yang sangat ku
puja. Hanya perlu satu kali ku melihatnya dan itu sudah cukup membuatku terpaku
tanpa bisa berkata-kata. Seorang wanita yang telah mengganggu pikiranku selama
ini dengan segala pesonanya. Seorang wanita yang telah membuatku sangat
penasaran.
“Kamu dimana? Sudah sampai?”
“Ya, aku sudah sampai. Aku duduk di dalam. Kemarilah.”
“Kamu yang pakai baju kotak-kotak?”
“Ya, aku hanya seorang lelaki biasa yang duduk sendirian. Memandang mobilmu yang masih menyala itu. Turun dan kemarilah”
"Memang kamu tau mobilku dimana?"
"Sudahlah, aku tau banyak tentang dirimu. Lebih dari yang kamu tau"
Kami
bertukar pesan singkat melalui handphone,
sedari tadi aku telah mengetahui dirinya datang. Menggunakan mobil avanza hitam
dan berhenti tak jauh dari pintu masuk. Aku sudah mengetahuinya sejak awal, aku
sudah mengetahui apa pun tentang dia. Tampaknya aku hanya seorang psikopat
tukang stalking yang selalu
mengganggu hidupnya. Bagaimana tidak? Setiap pagi, siang, bahkan sampai malam
pun aku selalu berusaha mengucapkan salam dan membuka pembicaraan. Tapi, semua
kadang tak seindah apa yang ada di angan-angan. Dia pendiam, dia mungkin memang
seorang wanita pendiam, tapi mungkin juga dia menjaga jarak dari seorang
psikopat tukang Stalking seperti
diriku. Memang sepertinya aku hanya lelaki hina, lelaki yang ingin tau tentang
dirinya. Padahal, aku harusnya sadar, betapa tingginya dia buat lelaki seperti
ku. Betapa tak pantasnya diriku memilihnya sebagai tempat penitipan hatiku.
Namun, keinginanku lebih besar ketimbang kesadaran diri ku. Hari ini dengan
seluruh keberanian aku harus menemuinya. Tetap dengan harapan, kita bisa lebih
dekat bila sudah bertemu dan berbicara langsung.
Langkah demi
langkah dia mendekat kepadaku. Aku hanya terpaku di tempat duduk tanpa
melepaskan pandangan dari lukisan Tuhan yang sangat luar biasa ini. Dia membuatku
semakin tegang, bahkan saat ini detak jantungku mulai tidak karuan. Kau
harusnya mengerti wahai Andini, bagaimana aku sangat tak mampu menahan rasa
sayang ini padamu. Tapi selama ini kau hanya membuatku mati kutu dengan tingkah
acuh mu padaku. Aku hanya bisa bergumam, ya, hanya bergumam sendiri di dalam
hati.
“Hai”, dia menyapaku.
“Hai, aku Adit”, kataku.
“Iya, aku tau dari nama di kontak mu. Kita kan sudah kenalan lewat pesan singkat. Kenapa seperti baru pertama kali kenalan?”, katanya sembari tersenyum.
Kau pikir ini mudah, Din? Aku sendiri tak mengerti apa yang harus aku katakan padamu. Sudah
beberapa kali ku coba untuk membiasakan diri dengan segala sikap acuh mu
padaku, tapi tetap saja aku tak bisa mengerti dirimu. Kita memang mungkin baru
kenal, mungkin juga memang aku tak pernah ada di matamu, tapi apa kau tak
pernah ingin membuka hatimu? Apa aku memang terlalu hina untukmu? Memang, aku
ini hina. Mungkin aku tak lebih baik dari para koruptor negara. Selalu
diselimuti dosa, selalu dekat dengan kematian. Ya, memang bukan aku yang pantas
untukmu. Kau lebih pantas bersama lelaki yang tampan rupawan, memiliki
kebaikan, dan memiliki perhatian. Bukan aku, yang tak bisa apa-apa untukmu.
Bahkan aku pun tak bisa membuatmu nyaman dalam sebuah topik pembicaraan.
Seperti saat
ini kita yang sedang duduk berdua. Aku terlalu bodoh untuk mengajakmu bicara
tentang hal yang sama terus menerus. Novel, ya selalu novel yang aku bahas.
Selalu tulisan yang aku bahas. Selalu sajak-sajak tak berguna yang ku bahas.
Mungkin, buat dirimu berbagai kata dan sajak sangat tak berguna, karena dirimu
wanita modern yang sangat tinggi diatasku yang kumuh ini. Tapi bagi diriku
hanya ini yang kupunya, hanya serangkaian kata yang bisa kususun sedemikian
rupa. Bukan sebuah bunga yang indah, bukan pula perhiasan yang menyilaukan,
bahkan bukan juga sebuah senyuman manis dari seorang yang tampan.
Aku sadar
aku bodoh sama sekali tak mampu membuatmu nyaman, sebisa mungkin aku mencoba,
ternyata tetap saja suasana kita selalu begini. Entah itu saat kita berbicara
melalui pesan-pesan singkat yang selalu aku simpan dalam draft ku dan ketika saat ini kita berjumpa, aku selalu tak mampu
membuatmu nyaman. Maafkan aku yang memang tak sempurna di matamu, aku tak mampu
memberi lebih dalam perbincangan kita. Aku tau kau bosan, aku tau kau tak
nyaman berada di dekatku yang mengerikan. Aku tau kau lebih nyaman untuk bisa
berbicara dengan teman-teman yang menghubungimu lewat pesan-pesan singkat
ketimbang menatapku yang sangat menjemuhkan.
Saat hari
mulai malam, aku semakin sadar diriku ini memang tak berguna. Kau hanya mampu
terdiam, kau semakin tampak tak nyaman, kau tampak bosan, dan kau tampak ingin
segera pergi dan pulang. Mungkin berat aku memandangmu seperti ini, berat
mendapat sikap seperti ini. Tapi apa memang orang sepertiku tak pantas
mengharapkanmu? Apa memang orang seperti diriku ini tak pantas untuk
mendampingimu? Apa memang kau tak ingin membuka hatimu untuk sekedar mencoba
kenyamanan yang akan ku berikan?
Pertanyaan-pertanyaan
yang melayang dalam pikiranku sangatlah bodoh. Ya, bodoh sekali. Aku mengerti
memang jawabannya hanya satu, “IYA”. Dan itu sudah cukup jelas terpancar dari
sikap-sikapmu selama ini padaku. Bahkan mungkin diriku tak pernah pantas untuk
berkenalan dengan wanita sepertimu. Aku mengerti bagaimana rasanya patah hati,
tapi mungkin ini lebih sakit dari biasanya. Kecewa, memang aku kecewa, karena
sepertinya aku memang tak pernah pantas untuk bahagia.
Akhirnya
Andini berdiri dari tempat duduknya. Menatapku dan pergi meninggalkanku di meja
itu. Akhirnya dia pulang dengan senyum bahagia. Bukan, bukan karena diriku dia
tersenyum bahagia. Tapi, karena dia sudah lepas dari belenggu seorang psikopat semacam
diriku. Aku menyadarinya, aku malu pada hidupku sendiri. Aku hanya tertunduk,
aku hanya mampu meratapi semua kesialan dalam diriku.
“Hahaha, tampaknya memang aku tak pantas untukmu, Din. Memang aku tak pernah bisa mendekati dirimu lebih jauh. Tetap saja semua akan percuma”
Aku mulai
meracau tak karuan sambil menahan panas di mata. Aku hanya ingin bahagia. Aku hanya ingin dianggap olehnya. Aku hanya ingin
mendapatkannya dan membahagiakannya. Tapi selalu saja, air mata yang akan kudapatkan dari
semua kisah cinta yang ada. Aku memang lelaki lemah, aku mungkin tak pernah
bisa menjadi kuat. Aku hanya bisa menangisi diri di dalam hati, dan mencoba
tersenyum seperti orang biasa di kehidupan nyata.
Aku berdiri
dan berjalan menuju pintu keluar. Kutolehkan kepala kebelakang untuk memandang
meja tempat kami berjumpa. Ku lihat baik-baik, berharap ada sepercik cinta dan
harapan. Tapi, meja itu tetap kosong, suram, dan tanpa warna. Ya, meja itu
hanya meninggalkan kenangan pahit untukku tentang sosok dirimu yang begitu
menawan.
Aku
melangkahkan kakiku keluar untuk kembali pada kenyataan, bahwa Andini memang
takkan pernah membuka hatinya untuk diriku, bahwa Andini hanya sekedar impian
indahku. Seperti pungguk merindukan bulan, aku telah mengharapkan orang yang
sangat mustahil aku dapatkan. Aku hanya bertanya di dalam hati, kapankah dapat kupeluk sang bulan?
When you were young and on
your own
How did it feel to be alone?
I was always thinking of games that I was playing.
Trying to make the best of my time.
But only love can break your heart
Try to be sure right from the start
Yes only love can break your heart
What if your world should fall apart?
Neil Young - Only Love Can Break Your Heart
-----------------------------------
“Sebuah fiksi untukmu yang selalu melihat ke atas, tak pernah berusaha melihat orang yang memiliki ketulusan. Inilah jeritan hati yang ingin orang-orang katakan”
“Sebuah fiksi untukmu yang selalu melihat ke atas, tak pernah berusaha melihat orang yang memiliki ketulusan. Inilah jeritan hati yang ingin orang-orang katakan”
sabar yah sob :) . thats unrequited love.
ReplyDeletewow :D ... mantep nih buat jaddi renungan hihii :D
ReplyDelete#SeekorYunus Dan Salon