Saturday, October 20, 2012

Dear You...


“Selamat datang! Untuk berapa orang, kak?”
“Dua orang”
“Mau di luar atau di dalam, kak?”
“Di dalam saja”
“Baik, mari silahkan saya antar ke mejanya”


Malam ini aku melangkah ke dalam sebuah café bergaya Italia. Cahaya kekuningan yang remang-remang menghiasi bagian dalam dan luar café ini. Tembok-tembok bata tanpa cat yang tersusun rapi berwarna merah menjadi tema tiap sudut dinding yang ada. Sofa-sofa berwarna kuning gading dan meja kayu berwarna cokelat tertata di seluruh penjuru ruangan. Aku melangkah mengikuti pelayan café menuju sebuah meja yang terletak di dekat jendela. Aku duduk sembari membaca menu yang di berikan oleh pelayan, membalik tiap halaman dan memilih thai-tea sebagai pesanan perdana ku.


Menunggu dan terus menunggu sampai pesanan ku datang, ku tatap keluar jendela. Aku tertegun dalam keindahan lampu kota yang menghiasi pemandangan. Warna-warni lampu jalan, rumah-rumah, dan kendaraan sangat serasi dan enak dipandang. Bintang-bintang yang tadinya bersembunyi di balik awan pun mulai bermunculan. Membangkitkan sisi romantis yang selama ini sangat ku rindukan.


Lamunan ku terganggu saat pelayan datang membawa minuman pesananku. Kulihat sekeliling meja, banyak tamu yang berpasangan. Sedangkan aku saat ini hanya menikmati tiap teguk minuman tanpa ada kawan. Masih tetap seperti hari-hari kemarin saat aku kesepian dan merasa kehilangan.




Sebuah pesan masuk ke dalam handphone ku, membuyarkan segala pikiranku. Sebuah pesan yang telah cukup lama ku tunggu dari dirinya. Sosok wanita yang sangat ku puja. Hanya perlu satu kali ku melihatnya dan itu sudah cukup membuatku terpaku tanpa bisa berkata-kata. Seorang wanita yang telah mengganggu pikiranku selama ini dengan segala pesonanya. Seorang wanita yang telah membuatku sangat penasaran.
           
“Kamu dimana? Sudah sampai?”
“Ya, aku sudah sampai. Aku duduk di dalam. Kemarilah.” 
“Kamu yang pakai baju kotak-kotak?” 
“Ya, aku hanya seorang lelaki biasa yang duduk sendirian. Memandang mobilmu yang masih menyala itu. Turun dan kemarilah”
"Memang kamu tau mobilku dimana?"
"Sudahlah, aku tau banyak tentang dirimu. Lebih dari yang kamu tau" 
Kami bertukar pesan singkat melalui handphone, sedari tadi aku telah mengetahui dirinya datang. Menggunakan mobil avanza hitam dan berhenti tak jauh dari pintu masuk. Aku sudah mengetahuinya sejak awal, aku sudah mengetahui apa pun tentang dia. Tampaknya aku hanya seorang psikopat tukang stalking yang selalu mengganggu hidupnya. Bagaimana tidak? Setiap pagi, siang, bahkan sampai malam pun aku selalu berusaha mengucapkan salam dan membuka pembicaraan. Tapi, semua kadang tak seindah apa yang ada di angan-angan. Dia pendiam, dia mungkin memang seorang wanita pendiam, tapi mungkin juga dia menjaga jarak dari seorang psikopat tukang Stalking seperti diriku. Memang sepertinya aku hanya lelaki hina, lelaki yang ingin tau tentang dirinya. Padahal, aku harusnya sadar, betapa tingginya dia buat lelaki seperti ku. Betapa tak pantasnya diriku memilihnya sebagai tempat penitipan hatiku. Namun, keinginanku lebih besar ketimbang kesadaran diri ku. Hari ini dengan seluruh keberanian aku harus menemuinya. Tetap dengan harapan, kita bisa lebih dekat bila sudah bertemu dan berbicara langsung.


Langkah demi langkah dia mendekat kepadaku. Aku hanya terpaku di tempat duduk tanpa melepaskan pandangan dari lukisan Tuhan yang sangat luar biasa ini. Dia membuatku semakin tegang, bahkan saat ini detak jantungku mulai tidak karuan. Kau harusnya mengerti wahai Andini, bagaimana aku sangat tak mampu menahan rasa sayang ini padamu. Tapi selama ini kau hanya membuatku mati kutu dengan tingkah acuh mu padaku. Aku hanya bisa bergumam, ya, hanya bergumam sendiri di dalam hati.

“Hai”, dia menyapaku. 
“Hai, aku Adit”, kataku. 
“Iya, aku tau dari nama di kontak mu. Kita kan sudah kenalan lewat pesan singkat. Kenapa seperti baru  pertama kali kenalan?”, katanya sembari tersenyum.

Kau pikir ini mudah, Din? Aku sendiri tak mengerti apa yang harus aku katakan padamu. Sudah beberapa kali ku coba untuk membiasakan diri dengan segala sikap acuh mu padaku, tapi tetap saja aku tak bisa mengerti dirimu. Kita memang mungkin baru kenal, mungkin juga memang aku tak pernah ada di matamu, tapi apa kau tak pernah ingin membuka hatimu? Apa aku memang terlalu hina untukmu? Memang, aku ini hina. Mungkin aku tak lebih baik dari para koruptor negara. Selalu diselimuti dosa, selalu dekat dengan kematian. Ya, memang bukan aku yang pantas untukmu. Kau lebih pantas bersama lelaki yang tampan rupawan, memiliki kebaikan, dan memiliki perhatian. Bukan aku, yang tak bisa apa-apa untukmu. Bahkan aku pun tak bisa membuatmu nyaman dalam sebuah topik pembicaraan.


Seperti saat ini kita yang sedang duduk berdua. Aku terlalu bodoh untuk mengajakmu bicara tentang hal yang sama terus menerus. Novel, ya selalu novel yang aku bahas. Selalu tulisan yang aku bahas. Selalu sajak-sajak tak berguna yang ku bahas. Mungkin, buat dirimu berbagai kata dan sajak sangat tak berguna, karena dirimu wanita modern yang sangat tinggi diatasku yang kumuh ini. Tapi bagi diriku hanya ini yang kupunya, hanya serangkaian kata yang bisa kususun sedemikian rupa. Bukan sebuah bunga yang indah, bukan pula perhiasan yang menyilaukan, bahkan bukan juga sebuah senyuman manis dari seorang yang tampan.


Aku sadar aku bodoh sama sekali tak mampu membuatmu nyaman, sebisa mungkin aku mencoba, ternyata tetap saja suasana kita selalu begini. Entah itu saat kita berbicara melalui pesan-pesan singkat yang selalu aku simpan dalam draft ku dan ketika saat ini kita berjumpa, aku selalu tak mampu membuatmu nyaman. Maafkan aku yang memang tak sempurna di matamu, aku tak mampu memberi lebih dalam perbincangan kita. Aku tau kau bosan, aku tau kau tak nyaman berada di dekatku yang mengerikan. Aku tau kau lebih nyaman untuk bisa berbicara dengan teman-teman yang menghubungimu lewat pesan-pesan singkat ketimbang menatapku yang sangat menjemuhkan.


Saat hari mulai malam, aku semakin sadar diriku ini memang tak berguna. Kau hanya mampu terdiam, kau semakin tampak tak nyaman, kau tampak bosan, dan kau tampak ingin segera pergi dan pulang. Mungkin berat aku memandangmu seperti ini, berat mendapat sikap seperti ini. Tapi apa memang orang sepertiku tak pantas mengharapkanmu? Apa memang orang seperti diriku ini tak pantas untuk mendampingimu? Apa memang kau tak ingin membuka hatimu untuk sekedar mencoba kenyamanan yang akan ku berikan?


Pertanyaan-pertanyaan yang melayang dalam pikiranku sangatlah bodoh. Ya, bodoh sekali. Aku mengerti memang jawabannya hanya satu, “IYA”. Dan itu sudah cukup jelas terpancar dari sikap-sikapmu selama ini padaku. Bahkan mungkin diriku tak pernah pantas untuk berkenalan dengan wanita sepertimu. Aku mengerti bagaimana rasanya patah hati, tapi mungkin ini lebih sakit dari biasanya. Kecewa, memang aku kecewa, karena sepertinya aku memang tak pernah pantas untuk bahagia.


Akhirnya Andini berdiri dari tempat duduknya. Menatapku dan pergi meninggalkanku di meja itu. Akhirnya dia pulang dengan senyum bahagia. Bukan, bukan karena diriku dia tersenyum bahagia. Tapi, karena dia sudah lepas dari belenggu seorang psikopat semacam diriku. Aku menyadarinya, aku malu pada hidupku sendiri. Aku hanya tertunduk, aku hanya mampu meratapi semua kesialan dalam diriku.

“Hahaha, tampaknya memang aku tak pantas untukmu, Din. Memang aku tak pernah bisa mendekati dirimu lebih jauh. Tetap saja semua akan percuma”

Aku mulai meracau tak karuan sambil menahan panas di mata. Aku hanya ingin bahagia. Aku hanya ingin dianggap olehnya. Aku hanya ingin mendapatkannya dan membahagiakannya. Tapi selalu saja, air mata yang akan kudapatkan dari semua kisah cinta yang ada. Aku memang lelaki lemah, aku mungkin tak pernah bisa menjadi kuat. Aku hanya bisa menangisi diri di dalam hati, dan mencoba tersenyum seperti orang biasa di kehidupan nyata.


Aku berdiri dan berjalan menuju pintu keluar. Kutolehkan kepala kebelakang untuk memandang meja tempat kami berjumpa. Ku lihat baik-baik, berharap ada sepercik cinta dan harapan. Tapi, meja itu tetap kosong, suram, dan tanpa warna. Ya, meja itu hanya meninggalkan kenangan pahit untukku tentang sosok dirimu yang begitu menawan.


Aku melangkahkan kakiku keluar untuk kembali pada kenyataan, bahwa Andini memang takkan pernah membuka hatinya untuk diriku, bahwa Andini hanya sekedar impian indahku.  Seperti pungguk merindukan bulan, aku telah mengharapkan orang yang sangat mustahil aku dapatkan. Aku hanya bertanya di dalam hati, kapankah dapat kupeluk sang bulan?



When you were young and on your own
How did it feel to be alone?

I was always thinking of games that I was playing.

Trying to make the best of my time.


But only love can break your heart
Try to be sure right from the start
Yes only love can break your heart
What if your world should fall apart?

Neil Young - Only Love Can Break Your Heart

-----------------------------------


“Sebuah fiksi untukmu yang selalu melihat ke atas, tak pernah berusaha melihat orang yang memiliki ketulusan. Inilah jeritan hati yang ingin orang-orang katakan”

2 comments: