September
2010
“Dit, kamu enggak bisa gitu!
Semaunya aja!”, Icha tiba-tiba berteriak.
“Cha, kamu harus ngertiin
kondisinya. Ini demi kita berdua...”,
“Kita berdua Dit??? Maksud kamu
dirimu? Enggak! Aku tetap enggak setuju!”,
“Tapi Cha...”
“Enggak! TITIK!!!”, belum sempat
aku menjelaskan tiba-tiba saja Icha memotong kata-kataku. Dia lalu
berdiri dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan ku.
“CHA!! Tunggu, Cha!”, kata ku.
Sayang Icha dengan sigap meninggalkan ku terduduk sendirian di cafe
itu. Puluhan pasang mata melihat ku karena pertengkaran ini, malu, ya
aku malu. Tapi lebih dari itu aku merasa benar-benar kecewa atas hal
yang terjadi.
Aku yang berumur 22 tahun saat itu
memiliki rencana untuk mencari beasiswa S2 di luar negeri. Hal ini
aku rencanakan untuk membuat bangga orang tua aku, karena selama ini
orang tua aku enggak pernah menunjukkan rasa bangga memiliki anak
seperti diriku. Walaupun nilai ku selama sekolah sampai kuliah
terbilang baik, tapi mereka seperti tidak memperdulikan aku. Mereka
cuek, bahkan saat aku wisuda pun mereka tidak datang karena urusan
masing-masing.
Buat aku cewek bernama Icha sangat
penting artinya, dia yang memahami diriku dan mengerti bagaimana
menyayangi diriku. Dia adalah satu-satunya orang yang mampu menjadi
seorang pacar, sahabat, saudara, bahkan orang tua untukku. Ya,
mungkin ini terdengar sedikit lebay, tapi buat aku Icha memang sosok
yang sempurna.
Hari ini kami bertemu untuk
membicarakan rencanaku mencari beasiswa ke luar negeri. Pada awalnya
Icha setuju dengan keputusan aku ini, bahkan orang tuanya pun juga
menyetujuinya. Ya, kami memang sudah cukup serius, setidaknya setelah
menunggu Icha lulus dan memiliki kerja, kami bisa menikah. Seperti
orang yang memiliki hubungan serius dalam berpacaran, kami berdua
sudah memiliki mimpi yang akan dirajut suatu hari nanti.
Tapi, semua berubah ketika
pembicaraan kami memanas. Hal yang cukup membuatku terkejut adalah
ketidak setujuan Icha dengan rencana ku untuk mencari beasiswa.
Alasannya mudah, dia datang ke kota ini dan kuliah disini untuk
menyusulku. Ya, awalnya kami LDR selama 2 tahun 2 bulan. Entah kenapa
kami bisa bertahan cukup lama dalam hubungan ini, dan selama itu lah
keseriusan kami terjalin. Icha, yang memang pada awalnya tidak kuat
untuk LDR akhirnya memutuskan untuk menyusulku ke kota ini. Setelah
berpikir beberapa hari, Icha pun memutuskan untuk tidak menyetujui
langkah ku mengambil beasiswa di luar negeri. Pada akhirnya kami
bertengkar hebat dan dia pergi.
Setelah pertengkaran hebat itu, selama beberapa hari Icha mulai
terlihat berubah, aku berusaha meminta maaf dan mengalah pun tidak
mampu mengembalikan keceriaannya seperti biasa. Bbm ku jarang
dibalasnya, telfon mulai jarang diangkat, dan sekarang aku
benar-benar merasa seperti enggak punya pacar sama sekali.
---------------------------
Seminggu kemudian atau tepatnya 9 hari kemudian, kami bertemu lagi di cafe yang sama. Cafe ini memang tempat favorit kami selama berpacaran dan ini juga tempat kami kencan pertama saat aku menyatakan cinta pada Icha. Hari ini adalah hari yang enggak akan pernah aku lupakan seumur hidupku.
“Dit, kamu ngerasa gak kalau
hubungan kita makin lama makin garing?”, kata Icha membuka
pembicaraan. Matanya mengarah pada mataku, melihat dalam-dalam
seperti ingin menelusuri hatiku yang saat itu sangat bimbang.
“Ya, mungkin”, jawabku seadanya.
“Kamu ngerasa enggak sih kalau
kita hubungan LDR ini cuma buang-buang waktu?”, katanya lagi.
“Ahh, enggak! Kenapa kamu bisa
ngomong kaya gitu?”, kali ini aku mulai terganggu dengan
pertanyaannya.
“Enggak, aku cuma ngerasa kita
udah buang-buang waktu aja selama ini. Kamu tau aku egois, kamu tau
aku kekanak-kanakan, tapi kamu masih mau bertahan.....”
“Ya karena aku bener-bener cinta
sama kamu!”, belum sempat Icha menyelesaikan omongannya, aku pun
memotongnya.
“Ya, aku enggak tau lagi, Dit.
Kayanya aku enggak bisa berharap lebih ya dari kamu?”
“Maksud kamu apa?”
“Ya, hubungan ini mulai abu-abu
buat aku. Mungkin memang aku egois pingin di dekat kamu terus. Tapi,
enggak mungkin kan? Tah keinginan kamu dan impian kamu supaya bisa
sekolah keluar negeri...”
“Udahlah, kemarin aku udah bilang,
kan? Aku udah enggak mau cari beasiswa lagi!”
“Kenapa, Dit? Demi aku?”
“Iyalah! Demi siapa lagi!”,
kataku mulai kesal.
“Ya semua demi aku, tapi apa kamu
merasa bahagia dengan menuruti ego ku terus?”
Kali ini aku terdiam, kata-kata Icha
dan pertanyaannya membuatku bimbang. Memang menuruti terus menerus
bukan hal yang baik, memang aku yang mengalah terus pun pasti
tersiksa. Tapi, aku benar-benar mencintai wanita ini. Buat aku memang
cinta itu buta, yang penting dia bahagia dan aku pun akan ikut
bahagia.
“Dit... apa kamu bahagia?”, Icha
lagi-lagi bertanya dengan pertanyaan yang sama.
“Ya! Aku bahagia. Asal kamu
bahagia, aku juga ikut bahagia”, jawabku setelah beberapa menit
terdiam. Icha memandangiku yang mulai tertunduk kebingungan. Dia diam
melihat ekspresi wajahku. Lalu Icha mengulurkan tangannya untuk
menggenggam tanganku.
“Dit, aku ngerasa mending hubungan
ini kita akhiri saja. Hubungan ini udah enggak baik, aku takut
nantinya aku cuma jadi perusak mimpi-mimpi kamu”
Kali ini aku menengadahkan kepala sambil melihat Icha, aku terkejut mendengar kata-katanya. Aku terdiam, jantungku seperti berhenti berdetak.
“Cha, mimpi aku itu kamu!”
“Kita punya mimpi bersama-sama
kan, Dit? Kita berdua juga punya mimpi masing-masing kan, Dit??? Aku
enggak mau jadi batu pengganjal dalam hidupmu. Dit. Aku ngerti banget
kondisi kita ini, kalau dipaksain gak akan baik! Kamu butuh
mimpi-mimpi kamu, aku juga begitu. Aku pingin di deket kamu terus,
tapi aku takut cuma jadi perusak mimpi orang dan nantinya justru
impian kita berdua yang hancur karena ego ku. Biarlah sekarang kita
sama-sama sakit, tapi nantinya kita bisa menemukan kebahagiaan.
Biarlah kita sekarang kecewa dengan cinta, tapi nantinya kita bisa
mencapai impian. Dit, kalau kita jodoh, nantinya pasti kita bakal
ketemu lagi. Aku percaya kok Dit, Tuhan enggak pernah tidur”
“............”
Aku hanya bisa terdiam mendengar
kata-kata Icha, aku yang sekarang ini sama sekali enggak bisa
berfikir logis lagi. Buat aku sekarang cuma Icha yang paling penting.
“Enggak! Pokoknya enggak! Aku tu
cinta kamu banget, Cha!”, kataku
“Udah lah Dit, aku udah mikirin
selama seminggu ini. Ini jalan terbaik buat kita”, kata Icha.
“Tapi, Cha...”, kemudian Icha
mengarahkan jari telunjuknya kedepan bibirku.
“Dit, maaf banget aku banyak salah
sama kamu. Maaf aku egois, maaf aku ini kekanak-kanakan, maaf aku
selalu ngerepotin kamu, maaf aku selalu............ maaf.... maaf ya
dit, kita putus”,
Icha menangis dan membuat
kata-katanya tersendat-sendat. Aku hanya mampu diam melihat Icha yang
menangis. Sekarang ini hatiku serasa disambar petir, di gores pisau
yang tajam, dan ditaburi dengan garam. Benar-benar perih banget
rasanya, benar-benar sakit.
Enggak beberapa lama, Icha yang
masih menangis memelukku lalu mengatakan, “I Love you, Dit. Maafin
aku atas keputusan sepihakku ini, bye Dit”
Kemudian Icha berdiri dan berjalan
keluar cafe sambil menangis. Aku melihatnya sampai menghilang dari
pandangan, lalu aku melihat ke meja di hadapanku. Aku enggak tau lagi
harus gimana, aku enggak tau lagi mau gimana, yang aku tau hubunganku
dengan Icha berakhir di cafe ini. Pikiranku dan hatiku benar-benar
gak menentu sekarang. Aku kembali teringat saat kami pertama kali
kenalan di acara ulang tahun temanku. Aku kembali teringat saat aku
menyatakan cinta ke dia di cafe ini. Aku teringat lagi kemesraan kami
saat berjumpa setelah beberapa lama harus tersiksa jarak LDR. Semua
ingatan itu muncul tiba-tiba di dalam otak, membuat hati ini perih,
mata ini panas ingin meneteskan air mata dan membuat diriku
benar-benar hancur.
Ya, Alfa-Omega, hubungan kami
dimulai di cafe ini dan secara tidak terduga harus berakhir di cafe
ini juga.
Ku berlari, kau terdiam
Ku menangis, kau tersenyum
Ku berduka, kau bahagia
Ku pergi, kau kembali
Ku coba meraih mimpi
Kau coba hentikan mimpi
Memang kita takkan menyatu
Ku menangis, kau tersenyum
Ku berduka, kau bahagia
Ku pergi, kau kembali
Ku coba meraih mimpi
Kau coba hentikan mimpi
Memang kita takkan menyatu
Now Playing: Cakra - Harus Terpisah
---------------------------------
Baca dari secuplik ceritanya sih dari ide bagus, Mas. :D
ReplyDeleteKalo boleh kritik, menurut aku cuma penggunaan beberapa kalimat dan kata-kata aja sih yang perlu di'mainkan' lagi biar lebih efektif :D
thanks commentnya meg, nanti untuk novelnya aku pasti lebih mainin kata lagi. :D
ReplyDeleteBaca cerita ini betul2 kreatif isinya, ceritanya ide sendiri tah? Bakat lho km jadi penulis novel kalo terus dikembangkan talentanya... :)
ReplyDeleteTerimakasih kak ud mampir & komen. iya ide sendiri ini.
DeleteIni jg msih latihan nulis2 novel supaya lebih baik lg kedepannya, hehehe. :D
bakat jadi penulis !
ReplyDeletehaha, terlalu memuji nih..
Deletemakasih udah mampir. :D
nice banget nih novel pendeknya.. gua tunggu ya yng series full .. hahaha,,critanya ajib banget
ReplyDeletemakasih sudah bersedia mampir :)
ReplyDeletekeren mas, bikin galau gimana gitu.
ReplyDeletemakasih ya sudah mampir. ^^
Delete