Friday, October 12, 2012

Prolog


September 2010

“Dit, kamu enggak bisa gitu! Semaunya aja!”, Icha tiba-tiba berteriak.
“Cha, kamu harus ngertiin kondisinya. Ini demi kita berdua...”,
“Kita berdua Dit??? Maksud kamu dirimu? Enggak! Aku tetap enggak setuju!”,
“Tapi Cha...”
“Enggak! TITIK!!!”, belum sempat aku menjelaskan tiba-tiba saja Icha memotong kata-kataku. Dia lalu berdiri dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan ku.

“CHA!! Tunggu, Cha!”, kata ku. Sayang Icha dengan sigap meninggalkan ku terduduk sendirian di cafe itu. Puluhan pasang mata melihat ku karena pertengkaran ini, malu, ya aku malu. Tapi lebih dari itu aku merasa benar-benar kecewa atas hal yang terjadi.

Aku yang berumur 22 tahun saat itu memiliki rencana untuk mencari beasiswa S2 di luar negeri. Hal ini aku rencanakan untuk membuat bangga orang tua aku, karena selama ini orang tua aku enggak pernah menunjukkan rasa bangga memiliki anak seperti diriku. Walaupun nilai ku selama sekolah sampai kuliah terbilang baik, tapi mereka seperti tidak memperdulikan aku. Mereka cuek, bahkan saat aku wisuda pun mereka tidak datang karena urusan masing-masing.


Buat aku cewek bernama Icha sangat penting artinya, dia yang memahami diriku dan mengerti bagaimana menyayangi diriku. Dia adalah satu-satunya orang yang mampu menjadi seorang pacar, sahabat, saudara, bahkan orang tua untukku. Ya, mungkin ini terdengar sedikit lebay, tapi buat aku Icha memang sosok yang sempurna.

Hari ini kami bertemu untuk membicarakan rencanaku mencari beasiswa ke luar negeri. Pada awalnya Icha setuju dengan keputusan aku ini, bahkan orang tuanya pun juga menyetujuinya. Ya, kami memang sudah cukup serius, setidaknya setelah menunggu Icha lulus dan memiliki kerja, kami bisa menikah. Seperti orang yang memiliki hubungan serius dalam berpacaran, kami berdua sudah memiliki mimpi yang akan dirajut suatu hari nanti.

Tapi, semua berubah ketika pembicaraan kami memanas. Hal yang cukup membuatku terkejut adalah ketidak setujuan Icha dengan rencana ku untuk mencari beasiswa. Alasannya mudah, dia datang ke kota ini dan kuliah disini untuk menyusulku. Ya, awalnya kami LDR selama 2 tahun 2 bulan. Entah kenapa kami bisa bertahan cukup lama dalam hubungan ini, dan selama itu lah keseriusan kami terjalin. Icha, yang memang pada awalnya tidak kuat untuk LDR akhirnya memutuskan untuk menyusulku ke kota ini. Setelah berpikir beberapa hari, Icha pun memutuskan untuk tidak menyetujui langkah ku mengambil beasiswa di luar negeri. Pada akhirnya kami bertengkar hebat dan dia pergi.

Setelah pertengkaran hebat itu, selama beberapa hari Icha mulai terlihat berubah, aku berusaha meminta maaf dan mengalah pun tidak mampu mengembalikan keceriaannya seperti biasa. Bbm ku jarang dibalasnya, telfon mulai jarang diangkat, dan sekarang aku benar-benar merasa seperti enggak punya pacar sama sekali.

---------------------------


Seminggu kemudian atau tepatnya 9 hari kemudian, kami bertemu lagi di cafe yang sama. Cafe ini memang tempat favorit kami selama berpacaran dan ini juga tempat kami kencan pertama saat aku menyatakan cinta pada Icha. Hari ini adalah hari yang enggak akan pernah aku lupakan seumur hidupku.

“Dit, kamu ngerasa gak kalau hubungan kita makin lama makin garing?”, kata Icha membuka pembicaraan. Matanya mengarah pada mataku, melihat dalam-dalam seperti ingin menelusuri hatiku yang saat itu sangat bimbang.

“Ya, mungkin”, jawabku seadanya.
“Kamu ngerasa enggak sih kalau kita hubungan LDR ini cuma buang-buang waktu?”, katanya lagi.
“Ahh, enggak! Kenapa kamu bisa ngomong kaya gitu?”, kali ini aku mulai terganggu dengan pertanyaannya.
“Enggak, aku cuma ngerasa kita udah buang-buang waktu aja selama ini. Kamu tau aku egois, kamu tau aku kekanak-kanakan, tapi kamu masih mau bertahan.....”
“Ya karena aku bener-bener cinta sama kamu!”, belum sempat Icha menyelesaikan omongannya, aku pun memotongnya.
“Ya, aku enggak tau lagi, Dit. Kayanya aku enggak bisa berharap lebih ya dari kamu?”
“Maksud kamu apa?”
“Ya, hubungan ini mulai abu-abu buat aku. Mungkin memang aku egois pingin di dekat kamu terus. Tapi, enggak mungkin kan? Tah keinginan kamu dan impian kamu supaya bisa sekolah keluar negeri...”
“Udahlah, kemarin aku udah bilang, kan? Aku udah enggak mau cari beasiswa lagi!”
“Kenapa, Dit? Demi aku?”
“Iyalah! Demi siapa lagi!”, kataku mulai kesal.
“Ya semua demi aku, tapi apa kamu merasa bahagia dengan menuruti ego ku terus?”

Kali ini aku terdiam, kata-kata Icha dan pertanyaannya membuatku bimbang. Memang menuruti terus menerus bukan hal yang baik, memang aku yang mengalah terus pun pasti tersiksa. Tapi, aku benar-benar mencintai wanita ini. Buat aku memang cinta itu buta, yang penting dia bahagia dan aku pun akan ikut bahagia.

“Dit... apa kamu bahagia?”, Icha lagi-lagi bertanya dengan pertanyaan yang sama.
“Ya! Aku bahagia. Asal kamu bahagia, aku juga ikut bahagia”, jawabku setelah beberapa menit terdiam. Icha memandangiku yang mulai tertunduk kebingungan. Dia diam melihat ekspresi wajahku. Lalu Icha mengulurkan tangannya untuk menggenggam tanganku.

“Dit, aku ngerasa mending hubungan ini kita akhiri saja. Hubungan ini udah enggak baik, aku takut nantinya aku cuma jadi perusak mimpi-mimpi kamu”

Kali ini aku menengadahkan kepala sambil melihat Icha, aku terkejut mendengar kata-katanya. Aku terdiam, jantungku seperti berhenti berdetak.

“Cha, mimpi aku itu kamu!”
“Kita punya mimpi bersama-sama kan, Dit? Kita berdua juga punya mimpi masing-masing kan, Dit??? Aku enggak mau jadi batu pengganjal dalam hidupmu. Dit. Aku ngerti banget kondisi kita ini, kalau dipaksain gak akan baik! Kamu butuh mimpi-mimpi kamu, aku juga begitu. Aku pingin di deket kamu terus, tapi aku takut cuma jadi perusak mimpi orang dan nantinya justru impian kita berdua yang hancur karena ego ku. Biarlah sekarang kita sama-sama sakit, tapi nantinya kita bisa menemukan kebahagiaan. Biarlah kita sekarang kecewa dengan cinta, tapi nantinya kita bisa mencapai impian. Dit, kalau kita jodoh, nantinya pasti kita bakal ketemu lagi. Aku percaya kok Dit, Tuhan enggak pernah tidur”
“............”

Aku hanya bisa terdiam mendengar kata-kata Icha, aku yang sekarang ini sama sekali enggak bisa berfikir logis lagi. Buat aku sekarang cuma Icha yang paling penting.

“Enggak! Pokoknya enggak! Aku tu cinta kamu banget, Cha!”, kataku
“Udah lah Dit, aku udah mikirin selama seminggu ini. Ini jalan terbaik buat kita”, kata Icha.
“Tapi, Cha...”, kemudian Icha mengarahkan jari telunjuknya kedepan bibirku.
“Dit, maaf banget aku banyak salah sama kamu. Maaf aku egois, maaf aku ini kekanak-kanakan, maaf aku selalu ngerepotin kamu, maaf aku selalu............ maaf.... maaf ya dit, kita putus”,

Icha menangis dan membuat kata-katanya tersendat-sendat. Aku hanya mampu diam melihat Icha yang menangis. Sekarang ini hatiku serasa disambar petir, di gores pisau yang tajam, dan ditaburi dengan garam. Benar-benar perih banget rasanya, benar-benar sakit.

Enggak beberapa lama, Icha yang masih menangis memelukku lalu mengatakan, “I Love you, Dit. Maafin aku atas keputusan sepihakku ini, bye Dit”

Kemudian Icha berdiri dan berjalan keluar cafe sambil menangis. Aku melihatnya sampai menghilang dari pandangan, lalu aku melihat ke meja di hadapanku. Aku enggak tau lagi harus gimana, aku enggak tau lagi mau gimana, yang aku tau hubunganku dengan Icha berakhir di cafe ini. Pikiranku dan hatiku benar-benar gak menentu sekarang. Aku kembali teringat saat kami pertama kali kenalan di acara ulang tahun temanku. Aku kembali teringat saat aku menyatakan cinta ke dia di cafe ini. Aku teringat lagi kemesraan kami saat berjumpa setelah beberapa lama harus tersiksa jarak LDR. Semua ingatan itu muncul tiba-tiba di dalam otak, membuat hati ini perih, mata ini panas ingin meneteskan air mata dan membuat diriku benar-benar hancur.

Ya, Alfa-Omega, hubungan kami dimulai di cafe ini dan secara tidak terduga harus berakhir di cafe ini juga.


Ku berlari, kau terdiam
Ku menangis, kau tersenyum
Ku berduka, kau bahagia
Ku pergi, kau kembali

Ku coba meraih mimpi
Kau coba hentikan mimpi
Memang kita takkan menyatu

Now Playing: Cakra - Harus Terpisah

---------------------------------

10 comments:

  1. Baca dari secuplik ceritanya sih dari ide bagus, Mas. :D

    Kalo boleh kritik, menurut aku cuma penggunaan beberapa kalimat dan kata-kata aja sih yang perlu di'mainkan' lagi biar lebih efektif :D

    ReplyDelete
  2. thanks commentnya meg, nanti untuk novelnya aku pasti lebih mainin kata lagi. :D

    ReplyDelete
  3. Baca cerita ini betul2 kreatif isinya, ceritanya ide sendiri tah? Bakat lho km jadi penulis novel kalo terus dikembangkan talentanya... :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih kak ud mampir & komen. iya ide sendiri ini.
      Ini jg msih latihan nulis2 novel supaya lebih baik lg kedepannya, hehehe. :D

      Delete
  4. Replies
    1. haha, terlalu memuji nih..
      makasih udah mampir. :D

      Delete
  5. nice banget nih novel pendeknya.. gua tunggu ya yng series full .. hahaha,,critanya ajib banget

    ReplyDelete
  6. makasih sudah bersedia mampir :)

    ReplyDelete
  7. keren mas, bikin galau gimana gitu.

    ReplyDelete