Monday, November 12, 2012

Cinta di Dalam Sebatang Rokok

Aku duduk di atas sebuah gedung pencakar langit, memandang luasnya dunia di pagi hari. Cahaya matahari malu-malu di balik awan putih, langit biru tampak cerah terhampar bagai lautan abadi. Angis sepoi berhembus menyentuh wajahku, menyibak rambutku yang bergoyang lembut ke kanan dan ke kiri. Masih sama seperi dulu, udara segar pagi selalu menjadi awal dalam memulai hari.
"From: Livie
Setidaknya cobalah belajar untuk berhenti merokok, memang semua butuh perjuangan
Dikirim: 05.34" 
taken from google.com

Masih seperti biasa, sms mu itu selalu kubuka untuk menyadarkan diri. Tapi, seperti biasa juga, aku memang selalu tidak mengikuti mau mu.
Aku hisap sebentar, ku hembuskan pelan. Asap berwarna putih keabu-abuan melayang di skitar wajahku. Rasanya sedikit demi sedikit, masalah di otakku ikut kabur bersama asap itu. Pergi, terbang terbawa angin tak kembali. Masih satu setengah senti dari filternya, masih ada empat hisapan lagi yang bisa kunikmati. Masih ada waktu rokok di tangan kanan ku ini menghiburku, menghiburku sesaat saja.
Cinta, ya, masalah apa lagi yang aku hadapi selain cinta. Sama, masalah manusia selalu tentang uang dan cinta. Tidak jauh dari kedua hal itu, uang dan cinta, selalu itu yang dibesar-besarkan. Aku juga seperti itu, memikirkan kedua hal itu lebih dari apapun.

Aku menghisap lagi rokokku, seiring ingatan yang masih jelas tergambar di kapalaku. Ingatan-ingatan yang merasuk ke dalam hati, menyesakkan dan menyakitkan. Ingatan itu menguasai diriku, bercerita dengan lirih tentang arti kehidupan yang perih.
“Dit, aku harus bagaimana?”, suara lembut itu bertanya padaku.
Aku selalu teringat suara itu, suara yang ada di tiap hari-hariku. Suara itu yang memberi semangat pada tiap hidupku, suara itu juga yang selalu menjadi impian dalam tiap tidurku. Suara lembut milik seorang wanita, wanita yang sangat aku puja.
“Liv, aku cuma mau sama kamu! tapi...”, ucapku.
“Tapi apa, Dit? Orang tua ku?”
“Ya, ini masalah orang tuamu lagi”, ucapku lirih.
Livie hanya mampu terdiam. Mungkin ini perbincangan yang sama, sudah lima puluh kali, atau bahkan seratus kali hal ini kami bahas bersama. Dari mana aku ingat semua ini? Ya, karena ini kejadian 20 jam yang lalu. Tidak mungkin aku lupa kejadian yang baru saja terjadi kemarin. Kejadian yang membuyarkan semua impian dan harapanku.
Aku kembali memandang langit berwarna biru, masih saja aku menjepit sebatang rokok di jari-jari tanganku. Kuhisap lagi rokok itu, aku kembali teringat kejadian seminggu yang lalu.
Aku menunggu di bandara Soekarno-Hatta, menanti sebuah pesawat dari Paris tujuan Jakarta tiba. Aku berdoa semua baik-baik saja, karena ini adalah mimpi dan janjiku yang menjadi nyata. Hari itu, aku sangat bersemangat, karena akhirnya dia pulang ke negara ini. Ya, siapa lagi kalau bukan Livie kekasihku yang sempat beberapa bulan tinggal di Paris. Aku sudah siap menyambutnya, menyambutnya dengan senyuman, pelukan, dan kecupan hangat di keningnya. Itu lah janji kami berdua setelah sekian lama tidak bertemu. Indah, orang selalu bermimpi indah. Seperti aku sekarang, bermimpi untuk dapat memiliki Livie seutuhnya.
Lima belas menit ku habiskan di rest smoking area, seperti biasa sebatang rokok putih menemaniku. Membunuh waktu memang kurang lengkap tanpa rokok ini, aku bisa gila kalau hanya berjalan dan memandang keramaian. Tidak lama kemudian pengumuman arrival berkumandang, akhirnya penantian panjangku berakhir juga. Dia telah tiba dengan selamat, dia sudah datang. Bagai bunga yang layu di musim kemarau, aku seperti mendapatkan air segar dari hujan yang dinanti-nanti.
Aku berdiri di pintu kedatangan, kusundutkan rokokku ke sebuah asbak di sebelah kanan. Aku menunggu dia datang, melebarkan tangan untuk siap memeluk dirinya dengan hangat. Akhirnya, dia terlihat. Dia muncul bersama ayah, ibu, dan saudara-saudaranya. Tunggu, apa memang ini keputusan yang tepat untukku? Aku benar-benar tidak tau bagaimana orang tuanya bersikap kepadaku.
“Livie!”, teriakku sambil melambaikan tangan padanya.
Dia menoleh, wajahnya terkejut, terharu, ingin menangis menatapku. Memang ini pertemuan yang sangat indah. Dia berjalan pelan membawa sebuah trolli berisi tas-tas besar. Dia berjalan semakin cepat, ingin menghampiriku yang berdiri tersenyum padanya. Kurang lima langkah, ya, lima langkah lagi aku akan memenuhi janjiku untuk memeluk dan mengecup keningnya.
“Aprilia Livie! BERHENTI!”, suara lantang nan keras itu menghentikan langkah Livie.
Aku terkejut setengah mati mendengar suara itu, Livie hanya terpaku menatapku dan akhirnya dia berbalik berjalan menjauhi diriku. Itu ayahnya, ya, ayahnya yang berteriak dengan lantang dan keras. Aku hanya mampu terdiam, seolah penantianku menjadi sia-sia belaka. Seolah mimpi yang hampir saja menjadi kenyataan itu musnah ditelan badai yang muncul di tengah lautan. Aku hanya mampu melihatnya melangkah pergi, tanpa menegurku sedikitpun. Sakit.
Aku mulai merasa sedikit kalah dengan amarah, dadaku terasa sesak. Nafasku kini sudah memburu, wajahku memerah padam. Rasanya aku ingin membunuh, memukul dan menginja-injak seseorang. Tapi, aku kembali menghisap rokokku dalam-dalam. Aku merasa lega.
Memang kenangan itu bisa mempengaruhi segala emosi di jiwaku, membuatku terganggu dan nyaris lepas kendali. Memang, hanya rokok ini yang mampu menenangkan ku saat ini. Aku hisap lagi rokok itu, bersamaan dengannya, aku kembali teringat kejadian tiga hari yang lalu.
Aku datang ke sebuah rumah, di daerah Kelapa Gading, Jakarta Timur. Rumah itu cukup luas, memiliki disain eksterior yang modern. Terlihat pintu rumah yang besar, terdiri dari dua daun pintu berwarna kuning gading.
Suara bel berbunyi setelah kutekan sekali. Aku menunggu dan terus menunggu, sampai akhirnya keluar pembantu rumah itu. Dia mempersilahkanku masuk ke ruang tamu, dan segera memanggil pemilik rumahnya. Suara langkah kaki terdengar di telingaku, menghapus semua khayalanku. Mataku kini tertuju pada satu titik fokus, kulihat kedua orang itu melangkah menghampiriku.
“Mau apa kamu datang kesini?!”, belum sempat dia sampai di hadapanku, suaranya sudah memecah kesunyian di rumah itu. Ayah Livie tampak murka melihatku di ruang tamunya.
Aku melihat istrinya ada di belakangnya dengan wajah sinis dan judes menatapku. Aku hanya terdiam mendengar teriakkan ayah Livie. Dia pun berjalan menghampiriku dan berdiri tepat di hadapanku.
“Maaf, Pak. Saya hanya ingin menjelaskan”, kataku dengan nada sopan.
“Menjelaskan apa?!”, dia berteriak lagi.
“Maaf, Pak. Saya benar-benar sayang, saya benar-benar cinta anak Bapak. Livie.”, jawabku.
“LIVIE!”, ibunya berteriak.
Tak lama kemudian, Livie datang menghampiri kami di ruang tamu. Dia menangis, wajahnya tampak sedih melihatku yang memberanikan diri untuk datang ke rumahnya. Dia duduk di sebuah sofa, hanya mampu tertunduk dan terus menangis.
“Biar kalian berdua tau sekalian!”, ucap ibunya dengan nada tak kalah tinggi dari ayahnya.
“Nama kamu siapa?!”, ayahnya bertanya, tapi tetap saja dengan nada tinggi.
“Radit, Pak.”, jawabku.
“Kerja apa, kamu?!”, kali ini giliran ibunya.
“Penulis, Bu”
“Penulis?!!”, Ibunya terkejut.
“Mau jadi apa kalau anakku bersamamu???”, lanjut ibunya.
“Tapi, Bu…”
“Kamu sudah pernah naik Haji?! Pernah Umroh?!”, ayahnya memotong ucapanku.
“Belum, Pak”
“Kamu cuma kerja jadi penulis! Kamu belum pernah naik Haji! Kamu juga belum pernah Umroh! MAU DEKETIN ANAK SAYA DENGAN MODAL SEPERTI ITU? LANCANG!!!”, suara ayahnya semakin keras, otot wajahnya mengeras. Tembok rumah itu seperti bergetar ketakutan, memantulkan suara yang menggema di setiap sudut rumah mewah itu.
Aku menatap Livie, berharap dia membelaku yang tengah tersudut dalam kondisi tak mengenakkan. Harapanku terlalu berlebihan, karena dia hanya mampu terdiam dan menangis meratapi nasib kami berdua.
“Tapi, Pak. Saya janji membahagiakan anak bapak. Saya janji membuatnya jadi wanita yang selalu tersenyum tanpa tangisan. Saya bisa jadi imam yang baik buat dia.”, aku menjelaskan.
“BISA APA KAMU?! ANAK SAYA TIDAK BOLEH SAMA KAMU!!!”, ayahnya terus membentakku.
“Tapi, Pak. Saya…”
“KERJA KAMU SAJA TIDAK JELAS! KEIMANAN KAMU JUGA TIDAK JELAS! APANYA YANG IMAM?! MAU MAKAN APA ANAK SAYA SAMA KAMU?!”, ayahnya memotong ucapanku lagi.
“Tapi…”
“KAMU ITU CUMA MENJADI PENGHALANG HIDUP ANAKKU! KAMU TIDAK PANTAS MENJADI IMAM UNTUKNYA!!! CUMA MENAMBAH BEBAN KALAU BERSAMANYA!!!”, ayahnya terus saja mencecarku dengan makian dan bentakan. Seolah dia sudah tidak butuh penjelasan dari mulutku. Aku mulai tidak sabar lagi dengan perlakuannya.
“Tapi, Pak! Saya bisa membuat dia bahagia! Saya…”
BUGGG!!!
Ayahnya memukul wajahku dengan keras. Linu, rahangku bergetar dan terasa linu. Aku merasakan darah dilidahku, ya bibirku sobek mengeluarkan darah segar. Darah itu menetes keluar membasahi daguku. Pipiku memerah, tanganku mengepal, aku berusaha sabar dan menatap ayahnya secara langsung.
“KAMU LANCANG YA! TAU APA KAMU TENTANG BAHAGIA?! TAU APA KAMU TENTANG KELUARGA?! TAU APA?!”, ayahnya kembali berteriak.
“Lebih baik kamu pergi! Kamu tidak pantas untuk anakku!”, ibunya tidak mau kalah.
Aku menoleh pada Livie yang sejak tadi menangis, tak tega melihatnya seperti itu. Ingin ku peluk dirinya, tapi pasti orang tuanya tak akan membiarkanku. Aku usap darah di bibir kirku, aku pun menunduk dan membalikkan badan.
“Terimakasih, Assalamuallaikum”, ucapku.
Tak ada salam balasan dari mereka, seolah aku ini bukan manusia normal di mata mereka. Aku pun berjalan keluar pintu, meninggalkan rumah itu.
Aku menendang sebotol kaleng bekas di hadapanku. Kali ini aku sudah berdiri di tepian gedung dengan menghisap rokok baru. Rasa amarah kembali membakarku setelah mengingat kejadian itu. Ya, kejadian di rumah Livie itu. Rasanya darah segar yang mengalir akibat pukulan ayahnya masih terasa di lidahku. Sakit, bukan sakit karena pukulan, tapi hatiku yang sakit diumpat sedemikian rupa. Hatiku yang sakit karena hubunganku dengan Livie yang seperti ini.
Aku kembali menghisap rokokku, ingatanku terbang menuju 20 jam yang lalu. Kembali pada kemarin pagi, di tempat yang sama, di atas gedung ini.
“Dit, aku harus bagaimana?”, suara lembut itu bertanya padaku.
“Liv, aku cuma mau sama kamu! tapi...”, ucapku.
“Tapi apa, Dit? Orang tua ku?”
“Ya, ini masalah orang tuamu lagi”, ucapku lirih.
Livie hanya mampu terdiam. Mungkin ini perbincangan yang sama, sudah lima puluh kali, atau bahkan seratus kali hal ini kami bahas bersama.

Menyakitkan memang, hubungan kami tidak disetujui orang tuanya. Karena alasan aku hanya seorang penulis dan belum pernah naik Haji maupun Umroh. Aku ingin tertawa rasanya, menertawai diriku sendiri. Tapi, mau bagaimana pun ini jalan dari Tuhan, karena memang aku manusia biasa. Memang aku tidak punya apa-apa yang diharapkan kedua orang tuanya. Bisa apa aku untuknya?
"Apa sih yang aku punya, Liv? Aku memang cuma penulis, bukan siapa-siapa. Benar kata orang tua kamu, aku bukan imam yang baik untuk kamu, aku..."
PLAK!!!
Ucapanku terhenti, tamparan itu mendarat sangat keras di pipi kiriku. Tangan Livie memerah seperti pipiku. Perih, tapi tidak seperih hati ini.
“PENGECUT!!!”, Livie menangis di hadapanku.
“Ya, memang aku pengecut. Semoga hidupmu bahagia.”, aku menjawab singkat.
Aku berjalan meninggalkan Livie menangis sendirian, aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Saat aku menyerah dengan keadaan, maka sia-sia usaha kami untuk dilanjutkan. Buat apa lagi dilanjutkan? Tentu hasilnya kekecewaan. Aku menuruni tangga sambil menyalakan sebatang rokok di bibirku, berusaha melupakan kengan pahit ini.
Sebatang rokok ku genggam. Aku tau rokok ini menenangkan, sayang banyak sakit yang diakibatkan. 
Sebatang rokok ku genggam. Aku kecanduan, saat dia habis aku begitu kehilangan. 
Seperti cinta. Cinta itu menyejukkan dan menenangkan, sayang selalu ada luka. 
Seperti cinta. Cinta ku pada Livie sangat besar, saat dia pergi aku benar-benar rapuh dan kehilangan.
Aku menghabiskan setengah batang rokok yang ku nyalakan tadi. Ku hisap dan terus ku hisap. Dadaku mulai sesak, kepalaku mulai pening tak karuan. Mataku memerah panas, air pun tak terbendung untuk keluar. Aku menangis, ini lah rasanya patah hati.
Tak lama kemudian, aku memandang ke bawah. Berpikir untuk melompat, meninggalkan luka yang ku kenang sejak lima belas hari lalu. Ingatanku kembali ke masa-masa indahku dan Livie, aku tak ingat lagi kejadian-kejadian yang menyesakkan hati. Masih tercium bau Pecel Lele yang sering kami makan bersama, ya, itu favoritnya. Masih tercium aroma parfumnya yang menenangkan, saat dia memeluk hangat tubuh ini. Aku merasakan angin bertiup di sekitar tubuhku, aku mendengarkan teriakan orang-orang di bawahku, tapi di otakku sekarang hanya ada satu, “I love you Livie” Mirip sebatang rokok yang sejak tadi kuhisap, aku mungkin akan mati dan terbakar api neraka.
Tunggu.
Aku kembali membuka sms terakhir Livie padaku,
"From: Livie
Setidaknya cobalah belajar untuk berhenti merokok, memang butuh perjuangan
Dikirim: 08.34" 

Benar, aku masih punya satu jalan. Aku masih bisa memperjuangkan cinta ini, aku masih bisa menggapai Livie dengan usaha yang keras. Walaupun itu sulit, tapi cintaku padanya memang masih pantas untuk diperjuangkan. Seperti belajar untuk berhenti merokok, aku harus berjuang mendapatkan yang terbaik untuk diriku. Buat hidupku, Livie yang terbaik.

Aku berjalan meninggalkan gedung itu, menyalakan sebatang rokok lagi. Ya, aku akan mulai belajar untuk berhenti merokok dan aku juga tidak akan pernah berhenti memperjuangkan cintaku padanya. Aku memilih untuk menentukan hidupku dengan jalanku sendiri.

Just wait, someday I'll make you happy. Just wait, someday I'll be with you forever... I love you~





5 comments:

  1. Butuh perjuangan untuk berhenti :)

    ReplyDelete
  2. kepingin gue banget nyuruh cowo gue berhenti ngerokok :')

    ReplyDelete
  3. @Wisnu: iya, makannya sama seperti cinta... perlu perjuangan.

    @Annisa: Jangan dipaksakan, nasihati pelan-pelan. :D

    ReplyDelete
  4. rokok itu menyenangkan :)

    ReplyDelete
  5. My Fair, Is My Fair, Is My Fair, is My Fair Casino?
    I'm an online ventureberg.com/ casino and have been playing titanium ring at Fair since 2018 and it's still not getting https://febcasino.com/review/merit-casino/ better. I am https://vannienailor4166blog.blogspot.com/ a worrione young and inexperienced gambler,

    ReplyDelete