"From: Livie
Setidaknya cobalah belajar untuk berhenti merokok, memang semua butuh perjuangan
Dikirim: 05.34"
Masih seperti biasa, sms mu itu selalu kubuka untuk menyadarkan diri. Tapi, seperti biasa juga, aku memang selalu tidak mengikuti mau mu.
Aku
hisap sebentar, ku hembuskan pelan. Asap berwarna putih keabu-abuan
melayang di skitar wajahku. Rasanya sedikit demi sedikit, masalah di
otakku ikut kabur bersama asap itu. Pergi, terbang terbawa angin tak
kembali. Masih satu setengah senti dari filternya, masih ada empat
hisapan lagi yang bisa kunikmati. Masih ada waktu rokok di tangan
kanan ku ini menghiburku, menghiburku sesaat saja.
Cinta,
ya, masalah apa lagi yang aku hadapi selain cinta. Sama, masalah
manusia selalu tentang uang dan cinta. Tidak jauh dari kedua hal itu,
uang dan cinta, selalu itu yang dibesar-besarkan. Aku juga seperti
itu, memikirkan kedua hal itu lebih dari apapun.
Aku
menghisap lagi rokokku, seiring ingatan yang masih jelas tergambar di
kapalaku. Ingatan-ingatan yang merasuk ke dalam hati, menyesakkan dan
menyakitkan. Ingatan itu menguasai diriku, bercerita dengan lirih
tentang arti kehidupan yang perih.
“Dit,
aku harus bagaimana?”, suara lembut itu bertanya padaku.
Aku
selalu teringat suara itu, suara yang ada di tiap hari-hariku. Suara
itu yang memberi semangat pada tiap hidupku, suara itu juga yang
selalu menjadi impian dalam tiap tidurku. Suara lembut milik seorang
wanita, wanita yang sangat aku puja.
“Liv, aku cuma mau sama kamu! tapi...”, ucapku.
“Tapi apa, Dit? Orang tua ku?”
“Ya, ini masalah orang tuamu lagi”, ucapku lirih.
Livie hanya mampu terdiam. Mungkin ini perbincangan yang sama, sudah lima puluh kali, atau bahkan seratus kali hal ini kami bahas bersama. Dari mana aku ingat semua ini? Ya,
karena ini kejadian 20 jam yang lalu. Tidak mungkin aku lupa kejadian
yang baru saja terjadi kemarin. Kejadian yang membuyarkan semua
impian dan harapanku.
Aku
kembali memandang langit berwarna biru, masih saja aku menjepit
sebatang rokok di jari-jari tanganku. Kuhisap lagi rokok itu, aku
kembali teringat kejadian seminggu yang lalu.
Aku
menunggu di bandara Soekarno-Hatta, menanti sebuah pesawat dari
Paris tujuan Jakarta tiba. Aku berdoa semua baik-baik saja, karena
ini adalah mimpi dan janjiku yang menjadi nyata. Hari itu, aku sangat
bersemangat, karena akhirnya dia pulang ke negara ini. Ya, siapa lagi
kalau bukan Livie kekasihku yang sempat beberapa bulan tinggal di Paris. Aku sudah siap menyambutnya, menyambutnya dengan senyuman,
pelukan, dan kecupan hangat di keningnya. Itu lah janji kami berdua
setelah sekian lama tidak bertemu. Indah, orang selalu bermimpi
indah. Seperti aku sekarang, bermimpi untuk dapat memiliki Livie
seutuhnya.
Lima
belas menit ku habiskan di rest
smoking area, seperti biasa
sebatang rokok putih menemaniku. Membunuh waktu memang kurang lengkap
tanpa rokok ini, aku bisa gila kalau hanya berjalan dan memandang
keramaian. Tidak lama kemudian pengumuman arrival
berkumandang, akhirnya penantian panjangku berakhir juga. Dia telah
tiba dengan selamat, dia sudah datang. Bagai bunga yang layu di musim
kemarau, aku seperti mendapatkan air segar dari hujan yang
dinanti-nanti.
Aku
berdiri di pintu kedatangan, kusundutkan rokokku ke sebuah asbak di
sebelah kanan. Aku menunggu dia datang, melebarkan tangan untuk siap
memeluk dirinya dengan hangat. Akhirnya, dia terlihat. Dia muncul
bersama ayah, ibu, dan saudara-saudaranya. Tunggu, apa memang ini
keputusan yang tepat untukku? Aku benar-benar tidak tau bagaimana
orang tuanya bersikap kepadaku.
“Livie!”,
teriakku sambil melambaikan tangan padanya.
Dia
menoleh, wajahnya terkejut, terharu, ingin menangis menatapku. Memang
ini pertemuan yang sangat indah. Dia berjalan pelan membawa sebuah
trolli
berisi tas-tas besar. Dia berjalan semakin cepat, ingin menghampiriku
yang berdiri tersenyum padanya. Kurang lima langkah, ya, lima langkah
lagi aku akan memenuhi janjiku untuk memeluk dan mengecup keningnya.
“Aprilia
Livie! BERHENTI!”, suara lantang nan keras itu menghentikan langkah
Livie.
Aku
terkejut setengah mati mendengar suara itu, Livie hanya terpaku
menatapku dan akhirnya dia berbalik berjalan menjauhi diriku. Itu
ayahnya, ya, ayahnya yang berteriak dengan lantang dan keras. Aku
hanya mampu terdiam, seolah penantianku menjadi sia-sia belaka.
Seolah mimpi yang hampir saja menjadi kenyataan itu musnah ditelan
badai yang muncul di tengah lautan. Aku hanya mampu melihatnya
melangkah pergi, tanpa menegurku sedikitpun. Sakit.
Aku
mulai merasa sedikit kalah dengan amarah, dadaku terasa sesak.
Nafasku kini sudah memburu, wajahku memerah padam. Rasanya aku ingin
membunuh, memukul dan menginja-injak seseorang. Tapi, aku kembali
menghisap rokokku dalam-dalam. Aku merasa lega.
Memang
kenangan itu bisa mempengaruhi segala emosi di jiwaku, membuatku
terganggu dan nyaris lepas kendali. Memang, hanya rokok ini yang
mampu menenangkan ku saat ini. Aku hisap lagi rokok itu, bersamaan
dengannya, aku kembali teringat kejadian tiga hari yang lalu.
Aku
datang ke sebuah rumah, di daerah Kelapa Gading, Jakarta Timur. Rumah
itu cukup luas, memiliki disain eksterior yang modern. Terlihat pintu
rumah yang besar, terdiri dari dua daun pintu berwarna kuning gading.
Suara
bel berbunyi setelah kutekan sekali. Aku menunggu dan terus menunggu,
sampai akhirnya keluar pembantu rumah itu. Dia mempersilahkanku masuk
ke ruang tamu, dan segera memanggil pemilik rumahnya. Suara langkah
kaki terdengar di telingaku, menghapus semua khayalanku. Mataku kini
tertuju pada satu titik fokus, kulihat kedua orang itu melangkah
menghampiriku.
“Mau
apa kamu datang kesini?!”, belum sempat dia sampai di hadapanku,
suaranya sudah memecah kesunyian di rumah itu. Ayah Livie tampak
murka melihatku di ruang tamunya.
Aku
melihat istrinya ada di belakangnya dengan wajah sinis dan judes
menatapku. Aku hanya terdiam mendengar teriakkan ayah Livie. Dia pun
berjalan menghampiriku dan berdiri tepat di hadapanku.
“Maaf,
Pak. Saya hanya ingin menjelaskan”, kataku dengan nada sopan.
“Menjelaskan
apa?!”, dia berteriak lagi.
“Maaf,
Pak. Saya benar-benar sayang, saya benar-benar cinta anak Bapak.
Livie.”, jawabku.
“LIVIE!”,
ibunya berteriak.
Tak
lama kemudian, Livie datang menghampiri kami di ruang tamu. Dia
menangis, wajahnya tampak sedih melihatku yang memberanikan diri
untuk datang ke rumahnya. Dia duduk di sebuah sofa, hanya mampu
tertunduk dan terus menangis.
“Biar
kalian berdua tau sekalian!”, ucap ibunya dengan nada tak kalah
tinggi dari ayahnya.
“Nama
kamu siapa?!”, ayahnya bertanya, tapi tetap saja dengan nada
tinggi.
“Radit,
Pak.”, jawabku.
“Kerja
apa, kamu?!”, kali ini giliran ibunya.
“Penulis,
Bu”
“Penulis?!!”,
Ibunya terkejut.
“Mau
jadi apa kalau anakku bersamamu???”, lanjut ibunya.
“Tapi,
Bu…”
“Kamu
sudah pernah naik Haji?! Pernah Umroh?!”, ayahnya memotong
ucapanku.
“Belum,
Pak”
“Kamu
cuma kerja jadi penulis! Kamu belum pernah naik Haji! Kamu juga belum
pernah Umroh! MAU DEKETIN ANAK SAYA DENGAN MODAL SEPERTI ITU?
LANCANG!!!”, suara ayahnya semakin keras, otot wajahnya mengeras.
Tembok rumah itu seperti bergetar ketakutan, memantulkan suara yang
menggema di setiap sudut rumah mewah itu.
Aku
menatap Livie, berharap dia membelaku yang tengah tersudut dalam
kondisi tak mengenakkan. Harapanku terlalu berlebihan, karena dia
hanya mampu terdiam dan menangis meratapi nasib kami berdua.
“Tapi,
Pak. Saya janji membahagiakan anak bapak. Saya janji membuatnya jadi
wanita yang selalu tersenyum tanpa tangisan. Saya bisa jadi imam yang
baik buat dia.”, aku menjelaskan.
“BISA
APA KAMU?! ANAK SAYA TIDAK BOLEH SAMA KAMU!!!”, ayahnya terus
membentakku.
“Tapi,
Pak. Saya…”
“KERJA
KAMU SAJA TIDAK JELAS! KEIMANAN KAMU JUGA TIDAK JELAS! APANYA YANG
IMAM?! MAU MAKAN APA ANAK SAYA SAMA KAMU?!”, ayahnya memotong
ucapanku lagi.
“Tapi…”
“KAMU
ITU CUMA MENJADI PENGHALANG HIDUP ANAKKU! KAMU TIDAK PANTAS MENJADI
IMAM UNTUKNYA!!! CUMA MENAMBAH BEBAN KALAU BERSAMANYA!!!”, ayahnya
terus saja mencecarku dengan makian dan bentakan. Seolah dia sudah
tidak butuh penjelasan dari mulutku. Aku mulai tidak sabar lagi
dengan perlakuannya.
“Tapi,
Pak! Saya bisa membuat dia bahagia! Saya…”
BUGGG!!!
Ayahnya
memukul wajahku dengan keras. Linu, rahangku bergetar dan terasa
linu. Aku merasakan darah dilidahku, ya bibirku sobek mengeluarkan
darah segar. Darah itu menetes keluar membasahi daguku. Pipiku
memerah, tanganku mengepal, aku berusaha sabar dan menatap ayahnya
secara langsung.
“KAMU
LANCANG YA! TAU APA KAMU TENTANG BAHAGIA?! TAU APA KAMU TENTANG
KELUARGA?! TAU APA?!”, ayahnya kembali berteriak.
“Lebih
baik kamu pergi! Kamu tidak pantas untuk anakku!”, ibunya tidak mau
kalah.
Aku
menoleh pada Livie yang sejak tadi menangis, tak tega melihatnya
seperti itu. Ingin ku peluk dirinya, tapi pasti orang tuanya tak akan
membiarkanku. Aku usap darah di bibir kirku, aku pun menunduk dan
membalikkan badan.
“Terimakasih,
Assalamuallaikum”, ucapku.
Tak
ada salam balasan dari mereka, seolah aku ini bukan manusia normal di mata mereka. Aku pun berjalan keluar pintu,
meninggalkan rumah itu.
Aku
menendang sebotol kaleng bekas di hadapanku. Kali ini aku sudah
berdiri di tepian gedung dengan menghisap rokok baru. Rasa amarah
kembali membakarku setelah mengingat kejadian itu. Ya, kejadian di
rumah Livie itu. Rasanya darah segar yang mengalir akibat pukulan
ayahnya masih terasa di lidahku. Sakit, bukan sakit karena pukulan,
tapi hatiku yang sakit diumpat sedemikian rupa. Hatiku yang sakit
karena hubunganku dengan Livie yang seperti ini.
Aku
kembali menghisap rokokku, ingatanku terbang menuju 20 jam yang lalu.
Kembali pada kemarin pagi, di tempat yang sama, di atas gedung ini.
“Dit,
aku harus bagaimana?”, suara lembut itu bertanya padaku.
“Liv, aku cuma mau sama kamu! tapi...”, ucapku.
“Tapi apa, Dit? Orang tua ku?”
“Ya, ini masalah orang tuamu lagi”, ucapku lirih.
Livie hanya mampu terdiam. Mungkin ini perbincangan yang sama, sudah lima puluh kali, atau bahkan seratus kali hal ini kami bahas bersama.
Menyakitkan
memang, hubungan kami tidak disetujui orang tuanya. Karena alasan aku
hanya seorang penulis dan belum pernah naik Haji maupun Umroh. Aku
ingin tertawa rasanya, menertawai diriku sendiri. Tapi, mau bagaimana pun ini jalan dari Tuhan, karena memang aku manusia
biasa. Memang aku tidak punya apa-apa yang diharapkan kedua orang
tuanya. Bisa apa aku untuknya?
"Apa sih yang aku punya, Liv? Aku memang cuma penulis, bukan siapa-siapa. Benar kata orang tua kamu, aku bukan imam yang baik untuk kamu, aku..."
PLAK!!!
Ucapanku terhenti, tamparan itu mendarat sangat keras di pipi kiriku. Tangan Livie memerah seperti pipiku. Perih, tapi tidak seperih hati ini.
“PENGECUT!!!”, Livie menangis di
hadapanku.
“Ya, memang aku pengecut. Semoga hidupmu bahagia.”, aku menjawab singkat.
Aku
berjalan meninggalkan Livie menangis sendirian, aku
tak bisa berbuat apa-apa lagi. Saat aku menyerah dengan keadaan, maka
sia-sia usaha kami untuk dilanjutkan. Buat apa lagi dilanjutkan? Tentu hasilnya kekecewaan. Aku menuruni tangga sambil
menyalakan sebatang rokok di bibirku, berusaha melupakan kengan pahit
ini.
Sebatang rokok ku genggam. Aku tau rokok ini menenangkan, sayang banyak sakit yang diakibatkan.
Sebatang rokok ku genggam. Aku kecanduan, saat dia habis aku begitu kehilangan.
Seperti cinta. Cinta itu menyejukkan dan menenangkan, sayang selalu ada luka.
Seperti cinta. Cinta ku pada Livie sangat besar, saat dia pergi aku benar-benar rapuh dan kehilangan.
Aku
menghabiskan setengah batang rokok yang ku nyalakan tadi. Ku hisap
dan terus ku hisap. Dadaku mulai sesak, kepalaku mulai pening tak
karuan. Mataku memerah panas, air pun tak terbendung untuk keluar.
Aku menangis, ini lah rasanya patah hati.
Tak
lama kemudian, aku memandang ke bawah. Berpikir untuk melompat, meninggalkan luka
yang ku kenang sejak lima belas hari lalu. Ingatanku kembali ke
masa-masa indahku dan Livie, aku tak ingat lagi kejadian-kejadian
yang menyesakkan hati. Masih tercium bau Pecel Lele yang sering kami makan bersama, ya, itu favoritnya. Masih tercium aroma parfumnya yang menenangkan, saat dia memeluk hangat tubuh ini. Aku merasakan angin bertiup di sekitar
tubuhku, aku mendengarkan teriakan orang-orang di bawahku, tapi di
otakku sekarang hanya ada satu, “I love you Livie” Mirip
sebatang rokok yang sejak tadi kuhisap, aku mungkin akan mati dan terbakar
api neraka.
Tunggu.
Aku kembali membuka sms terakhir Livie padaku,
"From: Livie
Setidaknya cobalah belajar untuk berhenti merokok, memang butuh perjuangan
Dikirim: 08.34"
Benar, aku masih punya satu jalan. Aku masih bisa memperjuangkan cinta ini, aku masih bisa menggapai Livie dengan usaha yang keras. Walaupun itu sulit, tapi cintaku padanya memang masih pantas untuk diperjuangkan. Seperti belajar untuk berhenti merokok, aku harus berjuang mendapatkan yang terbaik untuk diriku. Buat hidupku, Livie yang terbaik.
Aku berjalan meninggalkan gedung itu, menyalakan sebatang rokok lagi. Ya, aku akan mulai belajar untuk berhenti merokok dan aku juga tidak akan pernah berhenti memperjuangkan cintaku padanya. Aku memilih untuk menentukan hidupku dengan jalanku sendiri.
Just wait, someday I'll make you happy. Just wait, someday I'll be with you forever... I love you~
Butuh perjuangan untuk berhenti :)
ReplyDeletekepingin gue banget nyuruh cowo gue berhenti ngerokok :')
ReplyDelete@Wisnu: iya, makannya sama seperti cinta... perlu perjuangan.
ReplyDelete@Annisa: Jangan dipaksakan, nasihati pelan-pelan. :D
rokok itu menyenangkan :)
ReplyDeleteMy Fair, Is My Fair, Is My Fair, is My Fair Casino?
ReplyDeleteI'm an online ventureberg.com/ casino and have been playing titanium ring at Fair since 2018 and it's still not getting https://febcasino.com/review/merit-casino/ better. I am https://vannienailor4166blog.blogspot.com/ a worrione young and inexperienced gambler,