Tuesday, December 18, 2012

Rena

“Aku heran dengan keadaanku sendiri.”

“Kenapa?”

“Ya, aku merasa kurang beruntung saja.”

Rena menghela nafas sambil meneguk pelan kopi hitam yang sudah mulai dingin itu. Seperti biasa, aku harus rela duduk di café ini berjam-jam demi mendengar keluhan dan umpatan Rena tentang kehidupannya. Curhat? Ya, itulah yang dilakukan Rena. Paling tidak kegiatan ini berlangsung seminggu tiga kali.

“Kurang beruntung gimana? Kamu cantik, tajir, pintar, dan tentu orang-orang di sekitarmu menyayangimu.”, kataku sambil mengunyah roti bakar cokelat keju favoritku.

“Menurutmu seperti itu, Dit?”

“Ya, kamu memiliki hidup yang sempurna di mataku. Lalu, apa lagi yang kamu harapkan?”

“Cinta, Dit. Cinta yang tulus. Cinta yang bisa bikin aku ngerasa hidupku sempurna.”

Benar juga pikirku, Rena memang memiliki kehidupan yang nyaris sempurna. Namun, karena keluarga yang super sibuk, Rena sebagai anak tunggal sulit mendapat perhatian. Orang tua yang sering keluar kota atau bahkan ke luar negeri.

Rena adalah gadis paling cantik di kampusku, mungkin begitulah penilaian setiap pria yang bertemu dengannya. Rena memiliki mata yang tajam, menunjukkan kepribadian yang kuat, bibirnya merah merona dan terlihat renyah. Rambutnya terurai panjang sepunggung, sedikit berwarna cokelat dan berombak. Kulitnya putih tanpa cacat, benar-benar tipe wanita yang mudah untuk dicintai. Terlebih, sifat Rena yang sangat menyenangkan.

Di balik semua itu, Rena justru banyak mengalami kegagalan dalam cinta. Menurut orang-orang yang pernah jadian dengan Rena, Rena adalah wanita yang sangat manja. Hal itu yang membuat para lelaki kepayahan. Padalah, andaikan mereka tahu bagaimana Rena memang butuh perhatian, tentu mereka akan segera berubah pikiran. Sayang, Rena orang yang cukup tertutup di luar, kecuali kepadaku teman curhat satu-satunya.

“Masih berharap?”, kataku sambil menikmati potongan terakhir roti bakar cokelat keju yang aku santap sedari tadi.

“Berharap tentu saja, Dit. Apa sih yang bisa aku lakukan selain itu?”

“Ya, aku mengerti. Tapi, apa memang kamu serius dengan harapanmu?”

“Sangat serius!”, jawab Rena mantap.

“Oke, kita jadian.”, kataku.

“Benar??? Kamu yakin, Dit??? Bagaimana dengan citra kamu di kampus nanti?”, Rena tampak panik sekaligus senang.

“Buat apa aku memikirkan orang lain? Buat apa juga aku memikirkan bagaimana keadaanku nanti? Kalau kita jadian, tentu saja bukan aku dan kamu, tapi kita. Benar kan, sayang?”, kataku dengan mantap.

“Iya, Dit.”

“Jadi?”

“Aku selalu nunggu kamu, Dit. Nggak perlu aku jawab kan? Tentu saja aku mau jadi pacar kamu Dita Olivia.”

“Begitu juga aku, Avria Renata.”

Kami tersenyum tersipu dan tenggelam dalam perasaan cinta yang membara. Sudah cukup lama Rena menantiku, menungguku untuk menyukainya. Rena rela berpacaran dengan para pria karena sebuah pencitraan dan tentu saja menantiku putus dengan pacarku yang terakhir, Aldo.

Aldo? Ya, lelaki brengsek yang aku sendiri tidak ingin mengingatnya. Lelaki yang membuatku tak percaya lagi dengan cinta dari lawan jenis. Sekarang aku punya Rena, wanita yang setia menungguku dan selalu memahami diriku.

No comments:

Post a Comment