Sore itu langit berwarna lembayung. Layaknya mataku yang terkena iritasi, langit juga sepertinya lelah dengan segala debu, polusi, dan harapan-harapan manusia yang menguap di udara.
Aku memandang seisi kamar yang usang, kamar seorang pria yang masih bujang. Layaknya kapal pecah, begitu banyak barang berserakan di lantai dan meja. Botol-botol berwarna hijau masih ada di sudut kamar, hasil keriaanku dengan teman-teman semalam. Buku-buku tua yang kertasnya mulai kecokelatan juga tak luput dari pandangan, mereka adalah pajangan yang selalu kulihat di dalam kamar.
Bukan masalah bagaimana busuknya kamar, namun baru saja aku mengalami kejadian tidak mengenakkan. Baru saja seorang teman yang kupikir mampu menjaga segala rahasia melakukan penghianatan teramat dalam. Segala ceritaku padanya malah disebarkan di depan orang-orang. Sakit? Lebih dari itu. Aku krisis kepercayaan.
Lalu, aku berjalan ke pembaringan. Aku merebahkan tubuh dengan posisi terlungkup dan berteriak dalam-dalam. Berteriak dan menangis dengan penuh kesedihan. Tapi, berkat ia yang selalu menemaniku, suaraku tak terdengar. Bahkan tembok-tembok kamar tak mampu mengeja segala umpatan dan tangisanku. Ia memilih diam dan tak menceritakan kata-kata yang terlontar dari mulutku sore itu.
Benar-benar sosok yang hebat, bukan?