Friday, August 2, 2013

Sahabat Sejatiku...

Sore itu langit berwarna lembayung. Layaknya mataku yang terkena iritasi, langit juga sepertinya lelah dengan segala debu, polusi, dan harapan-harapan manusia yang menguap di udara.

Aku memandang seisi kamar yang usang, kamar seorang pria yang masih bujang. Layaknya kapal pecah, begitu banyak barang berserakan di lantai dan meja. Botol-botol berwarna hijau masih ada di sudut kamar, hasil keriaanku dengan teman-teman semalam. Buku-buku tua yang kertasnya mulai kecokelatan juga tak luput dari pandangan, mereka adalah pajangan yang selalu kulihat di dalam kamar.

Bukan masalah bagaimana busuknya kamar, namun baru saja aku mengalami kejadian tidak mengenakkan. Baru saja seorang teman yang kupikir mampu menjaga segala rahasia melakukan penghianatan teramat dalam. Segala ceritaku padanya malah disebarkan di depan orang-orang. Sakit? Lebih dari itu. Aku krisis kepercayaan.

Lalu, aku berjalan ke pembaringan. Aku merebahkan tubuh dengan posisi terlungkup dan berteriak dalam-dalam. Berteriak dan menangis dengan penuh kesedihan. Tapi, berkat ia yang selalu menemaniku, suaraku tak terdengar. Bahkan tembok-tembok kamar tak mampu mengeja segala umpatan dan tangisanku. Ia memilih diam dan tak menceritakan kata-kata yang terlontar dari mulutku sore itu. 

Benar-benar sosok yang hebat, bukan?
---

Aku berjalan menuju kamar, hari itu aku sangat kelelahan. Bintang-bintang tampak lebih terang bersama bulan yang menghiasi langit malam. Aku merebahkan tubuh di atas pembaringan, kali ini dengan posisi terlentang sambil menatap langit-langit kamar yang berwarna kuning kecokelatan. Lama-lama pandanganku menghitam dan aku terlelap.

Aku bercerita padanya tentang segala mimpi malam itu, ia mendengarkan segala cerita dan lamunan di dalam bayang-bayang. Hebatnya, ia tak mengatakan ke orang-orang tentang apa yang kuimpikan. 
Benar-benar sosok yang hebat, bukan?

---

Pagi itu ayah menghampiriku, di kamar tentu. Ia duduk di sampingku yang sedang memandang teman tidurku. "Kenapa kau memandangnya begitu?" tanya Ayah padaku.

"Kenapa ia begitu setia? Sedangkan manusia begitu mudah menyebarkan rahasia?" tanyaku balik.

"Ia selalu setia karena tak mampu berkata-kata seperti kita. Ia setia sampai lapuk, tak kau pedulikan, nak." jawab ayah seraya melangkah ke luar kamar. "Coba kau buka dan lihat lukanya setelah belasan tahun menemanimu." lanjutnya lagi.

Akhirnya aku membuka kain yang menutupi dirinya seperti perintah ayahku tadi. Kulihat beberapa noda berwarna cokelat seperti darah yang kering termakan waktu. Ya, ia setia walaupun selalu terluka menerima tangis dan impianku belasan tahun ini.

Ia menemaniku di atas pembaringan. Mendengarkan mimpi dan segala lamunan. Menerima segala tangis dan teriakan yang kupendam dalam-dalam. Namun, ia tak mampu bercerita tentang mimpi-mimpi saat aku datang, ia tak mampu berteriak lantang saat aku datang hanya butuhnya saja.

Adakah sahabat sebaik & setia seperti bantal? Coba dengarkan kata hatimu....

taken from google.com

7 comments:

  1. wow.. jd inget bantalku yg di kostan.. penuh dengan bercak coklat, bekas air mata yg meresap di bantal :D - rosafransisca

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  3. Ok,jgn lupa ceritakan tentang selimut dn kasur jg.. ^^v
    Semangaaaaat...

    ReplyDelete
  4. yup, itulah gak ada orang yang bisa kita percaya selain diri kita sendiri di dunia ini.

    ReplyDelete
  5. Pas banget nih kalo dipadu lagunya Sheila On 7 yang ketidakwarasan padaku. "Aku mulai nyaman, berbicara pada dinding kamar... aku takkan tenang saat sehatku datang" bedanya ini bukan dinding kamar, tapi bantal :D

    ReplyDelete
  6. Bener banget, bantal itu setia meskipun kita udah ilerin dia, kita ingusin dia dan kita tidurin sampai gepengpun dia nggak pernah (bisa) protes,,

    ReplyDelete
  7. Bantal? Aku gak pernah sampai bertahun-tahun sih pakai bantal.

    ReplyDelete