Wednesday, November 20, 2013

Topeng Tawa

taken from google.com


Sore itu, aku duduk di tepi jendela. Tentu saja di kafe biasa kita berjumpa, berbicara, dan tentu saja bertukar cerita. Terpisah beberapa meja di hadapanku, ada seorang pria tua yang tampak bijak. Tentu, banyak orang berkata padaku, "jangan menilai orang dari penampilannya saja." layaknya sebuah buku. Namun, wajah pria itu memang bijak, aura dan gerak tubuhnya sangat bijak. Begitu penilaianku.

Pria itu berwajah sedikit muram, sedikit bahagia. Entah, mungkin ia memiliki masalah, mungkin juga ia mendapatkan kebahagiaan di waktu yang sama. Tampaknya, pria itu berumur pertengahan 30-an, mungkin saja lebih. Ia mengenakan polo shirt  berwarna hitam dan celana kain hitam juga. Ia sedang menuliskan sesuatu di atas sebuah kertas menggunakan bolpoinnya, aku mengamati dengan seksama. Setidaknya, itulah yang aku lihat, aku bukan pencerita yang baik, kan?

Sudah dua jam aku duduk, pria itu masih saja menulis dan kadang ia tampak gusar dengan tulisannya sendiri. Sampai akhirnya, mungkin pria itu telah menemukan tanda titik untuk tulisannya. Ia berdiri, membayar harga secangkir kopi yang menemaninya dan meninggalkan kafe itu. Tetapi, ada yang aneh. Ya, benar, sangat aneh untukku. Kertas yang sedari tadi ia gunakan untuk menulis malah ditinggalkan begitu saja di atas meja. Aku penasaran, rasa penasaran itu melebihi rasa ingin memilikimu dulu.

Seorang pelayan segera menghampiri meja itu dan membersihkannya, dengan sigap aku memanggil pelayan itu, "Mbak!" entah apa yang aku pikirkan saat itu, tanganku terangkat dan dengan spontan mencegah pelayan itu membersihkan meja pria itu.

"Ya, mas? Ada apa?" pelayan itu menghampiriku, aku berhasil mencegahnya membereskan meja pria tua itu.

"Boleh aku minta kertas yang ada di atas meja itu?" tanyaku sambil menunjuk meja pria itu.

"Oh, oke. Saya bawakan ke sini ya." dengan sopan, pelayan itu menyanggupi permintaanku. Ia melangkah ke meja itu dan mengambil kertas yang tampak usang penuh goresan tinta di mana-mana. Pelayan itu mengamati sebentar, dibolak-balikkannya kertas itu dengan memicingkan mata. Seolah mencari apa yang penting dari kertas itu. Lalu, ia kembali menghampiriku membawa kertas itu.

"Silakan, mas." ucapnya sambil meletakkan kertas itu di atas mejaku.

"Terima kasih, mbak." kataku sambil tersenyum. Pelayan itu kembali ke meja pria itu dan membersihkannya, sekarang aku mengamati kertas itu dengan seksama. Aku menemukkan beberapa tulisan yang tidak aku pahami. Sepertinya itu sajak, atau mungkin hanya sebuah curhat yang diperindah saja, aku tidak tahu dan tidak mampu membedakannya. Ya, karena aku bukan penyair dan penulis yang baik, buat apa membeda-bedakan tulisan yang menurutku indah, kan?

Aku membacanya dengan seksama, dengan pelan-pelan agar paham arti tulisan pria itu. Tanpa sadar, aku mulai merasa haru yang dalam di hati. Aku terdiam, membisu. Paling tidak, begini tulisan pria itu di atas kertas:


"Aku tidak tahu apa yang aku tuliskan untukmu. Paling tidak, mungkin ini bagian dari perasaanku. Aku tidak tahu apa kau mampu memahami tulisan ini, namun untukku, tulisan ini lebih dari cukup untuk menceritakan perjalanan hati ke hati.

Bagaimana kalau kita lepas topeng tawa yang selama ini kita kenakan? Sehingga nanti, kita bisa berbicara dengan penuh kejujuran. Atau paling tidak, kita hentikan saja opera kita, penonton tidak tertawa, kita sedih, kita terluka. Sudahi drama ini, kita musnahkan peran kita di hadapan mereka untuk bicara jujur dari hati ke hati.

Atau mungkin kau tidak terluka? Bisa saja aku berkata seperti itu juga. Lalu, siapa yang terluka? Apa ini masih bagian dari segala cerita yang kau ciptakan agar mereka tertawa dan kita ikut bahagia? Apa tidak ada rasa lelah dalam dirimu dengan peran yang kita mainkan? Atau memang segala drama adalah seluruh kehidupan untukmu?

Ada hal yang lebih menyakitkan ketimbang kita yang terdiam, yaitu penyesalan.

Kau bebas memilihnya, melanjutkan perjalanan dengannya. Paling tidak, jangan ada penyesalan mendalam dan akhirnya kita tidak mampu kembali pulang pada kebahagiaan.

Orang-orang berkata: 'lupakan ia, syukuri yang ada'. Kalau ternyata yang ada hanya orang yang sempat, masih kah kita berhenti berharap terhadap ia yang mungkin tepat?

Kau dan aku pernah bermimpi di suatu tempat, bersama-sama merasa nyaman yang tak bertuan. Bebaskan saja, lepaskan topeng itu dan kita berbicara sebagai manusia. Dengan hati, tanpa saling membohongi."


Tak lama kemudian, aku mendengar keriuhan pejalan kaki di sekitar kafe. Seorang pria tua terjun dari gedung beberapa blok dari kafe itu, kata mereka yang berbisik-bisik dengan pelayan kafe. Akhir kisah yang sangat menyedihkan dan penuh penyesalan. Tanganku bergetar, aku mengingatmu lagi dan sepertinya memang ada penyesalan di cerita kita.



Fin.
-Jogja, 20 November '13-

4 comments:

  1. Nicely written, aku jadi ingat udah lama gak nulis fiksi, Doy.

    ReplyDelete
    Replies
    1. wah, baru sadar di comment arif.
      makasih udah mampir. xD

      Delete
  2. mampir juga ya di blog gue http ngehekal.blogspot.com, Thanks before :)

    ReplyDelete