Friday, January 10, 2014

Di Balik Dinginnya Sikap Ada Hangatnya Dekap

taken from google.com



"Nak, sudahlah. Tidak perlu memaksakan diri. Kamu beli saja apa yang kamu mau, tidak perlu memikirkan apa yang terjadi.", ucap ayahku yang sedang menyapu teras rumah dengan kaos warna putih buluk kesayangannya. Aku duduk di atas kursi bambu yang lapuk, tepat di belakangnya sambil menyaksikan ia yang sibuk dengan debu-debu berterbangan itu. Rumah kami sederhana sekali, tak super pula. Hanya memiliki satu kamar tamu, satu kamar mandi, satu kamar tidur, serta dapur yang terlihat kumuh layaknya kandang sapi tetangga kami.


"Aku nggak mau gini terus, Yah. Sudah cukup kita ditindas oleh saudara kita sendiri.", kataku gusar. Benar saja, aku begitu emosinya hari itu. Bukan karena mentari yang sangat terik di langit biru, bukan juga karena putus cinta, ini semua karena krisis kepercayaan pada saudaraku sendri, ini semua karena hilangnya ketulusan dari muka bumi.



"Kamu ingin membeli handphone, kan? Ya sudah, beli saja dengan uangmu itu. Masalah sepeda, nanti juga mereka kembalikan.", ucapnya dengan tetap santai.


"Kata siapa sepeda itu akan dikembalikan?", tanyaku. Ayah terdiam, sapu di tangannya ikut berhenti mengayun seketika. Aku menunggu ia menjawab pertanyaan itu, namun tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya.


"Kata siapa?", kuulangi pertanyaanku. Satu-satunya hal yang tampak berubah hanya tangan ayahku yang kembali mengayunkan sapunya, tetapi lagi-lagi tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Aku benar-benar semakin kesal.


"Ayah! Kata siapa?!", bentakku.


"Kata Endra tadi. Katanya, ibunya hanya ingin mengganti velg-nya saja. Nanti juga dikembalikan lagi ke sini, tapi nggak tahu lah.", ayahku kembali menjawab dengan nada santai yang datar itu.


"Jadi, belum pasti, kan?", aku memicingkan mata untuk mengamati raut wajah ayahku dalam-dalam.


"Ya, begitulah.", jawabnya datar.


Pagi itu, asap pembakaran sampah di dekat rumah sungguh tebal. Langit yang berwarna biru sangat cerah juga tampak di hadapanku, hiasan awan putih pun ikut dalam tarian angin yang harmonis. Bau-bau embun yang membasahi dedaunan sungguh menyenangkan, sayangnya ada hal membuatku kesal.


Ayah memang orang yang sangat datar, nyaris tanpa ekspresi di wajahnya. Entah sedih atau bahagia, takut atau berani, khawatir atau lega, semua tidak dapat dibaca dari wajahnya. Ia memang selalu begitu, terkesan acuh.


Dahulu, saat aku masih kecil, ayah dan ibuku tidak punya apa-apa saat menikah. Kehidupan keluargaku dibantu oleh saudara-saudara terdekat. Dari mulai uang belanja, sampai baju dan tempat tinggal. Ironis, buat beberapa orang, menikah itu butuh mapan. Aku kesal dengan kenyataan bahwa orang tuaku tidak mapan, hasilnya adalah perpisahan ayah dan ibu di waktu aku masih sangat kecil. Itu sungguh menusuk hatiku dalam-dalam, sampai aku sendiri tidak ingat bagaimana kelembutan seorang ibu seumur hidupku.


Baru beberapa hari yang lalu, sepeda pemberian budheku rusak. Aku ditabrak oleh motor dari belakang, itu menyebabkan velg sepedaku patah di beberapa rujinya dan rusak. Aku sudah memiliki penghasilan, walaupun masih seadanya saja. Maka dari itu, aku ingin bertanggung jawab untuk memperbaikinya dan tidak memberi tahu budheku.


Nasib berkata lain, niat baik belum tentu dibalas dengan baik juga. Budheku tahu dari saudaraku kalau sepeda itu rusak, ia marah-marah dan meminta sepeda itu dikembalikan padanya. Padahal, aku sudah punya niat untuk memperbaikinya sedemikian rupa. Alasan budheku mengambil sepeda itu kembali karena aku tidak memberitahunya. Sesungguhnya, niatku hanya tidak ingin merepotkan dirinya, aku ingin berguna dan punya tanggung jawab.


Dua hal yang membuatku kesal: Pertama, budheku yang sungguh tidak menghargai usahaku itu dan memaki-maki aku beserta ayahku. Kedua, saudaraku yang begitu siriknya sampai melaporkan yang tidak-tidak pada budheku.


Aku benar-benar tidak habis pikir, hal ini membuatku tidak percaya pada apapun lagi. Jangankan orang lain, bahkan keluarga sendiripun sulit untuk dipercaya dan mengulurkan tangannya dengan tulus. Bagiku kini, kepercayaan dan ketulusan hanya sekedar dongeng-dongeng di dalam novel yang sering kubaca, atau mungkin hanya ada di dalam film yang sering kutonton. Sayangnya, hidup bukan fiksi, diksi, fabel, atau malah fantasi. Hidup itu kenyataan yang siap melahap kita dalam-dalam bila lengah sekejap saja.


"Ya sudah, aku tetap akan beli sepeda.", ucapku pada ayah. Ia hanya diam sambil tetap menyapu teras. Kemudian, aku masuk ke dalam rumah. Aku mengambil handphone ayahku, ingin memainkan game di dalam handphone-nya itu. Tak sengaja aku melihat ada pesan masuk dari budheku, sebuah pesan singkat. Aku sungguh kurang ajar, membuka pesan-pesan itu dan membacanya dengan seksama.


"Mbak nggak masalah, yang merusakkan sepeda itu siapa? Kamu atau anakmu itu?", begitu pesan dari budheku.


"Aku, mbak.", dan begitu jawaban ayahku.


"Ya sudah, sepedanya aku ambil. Anakku sudah jalan ke rumahmu dengan mobil untuk mengangkut sepeda itu.", begitu isi pesan budheku yang terakhir.


Sesaat kemudian aku menunduk malu, selama ini aku menyesal punya keluarga tak mampu. Namun, ayahku malah memberiku kekayaan berupa cinta dan kasih sayang tanpa batas, satu-satunya yang mungkin belum aku ketahui hingga kini. Ia selalu menutup kesalahanku dengan menggunakan dirinya sebagai tameng, seperti apa yang kubaca saat ini. Lagi-lagi ia membersihkan namaku dari segala keburukan yang aku lakukan.


Aku berpikir, berapa kali ia telah menyelamatkanku dari hinaan dan permasalahan yang sesungguhnya bermula dari diriku. Mungkin bukan kali ini saja, mungkin juga ratusan atau ribuan kali. Dan selama ini, aku hanya memikirkan bagaimana harga diri kami diinjak bagai keset di keluarga ini. Ketidak tahuanku membuat diriku ini berpikir kalau ayah dan ibuku yang salah, mereka tidak siap dan mapan saat menikah. Ternyata semua itu salah, setidaknya mereka punya cinta yang melimpah.


Aku sangat ingat bagaimana ibuku dulu mencuci baju sendirian sambil tersenyum dan berkeringat, padahal ia baru saja dihina habis-habisan oleh keluargaku yang lain. Ia diperlakukan layaknya pembantu di rumah gedongan itu, rumah kakekku sendiri. Rumah yang dulu aku tempati saat masih kecil tentunya. Aku kini sangat tahu kenapa ibu memilih pergi dan tidak kuat untuk bertahan, mungkin karena keluargaku yang terlalu menekan habis-habisan dan memperlakukan dirinya untuk disisihkan. Mungkin ia menangis, letih dan menyerah. Mungkin, saat mencuci baju sore itu, air mata, air keringat, dan air cucian itu sudah menjadi satu, sulit untuk dibedakan lagi.


Aku berjalan menuju teras dan memandang ayahku yang kini memotong rumput di halaman depan. Aku mengambil perkakas dan ikut membantu di sebelahnya sambil berkata, "Ayah, besok aku tetap ingin beli sepeda."


"Terserah saja.", jawabnya singkat.


"Aku pasti bisa sukses! Aku janji akan membeli rumah dan bisa menggapai cita-cita. Suatu hari nanti aku pasti akan mengajak ayah untuk ke luar negeri dan tinggal bersamaku.", janjiku penuh semangat. Seperti biasa, ayah hanya tersenyum tanpa mengucapkan sepatah kata pun padaku. Namun, diriku tahu, dibalik dinginnya sikap ayah, ia selalu memiliki cinta dengan dekap yang menghangatkan.


"Terima kasih, Ayah. Dalam hati dan doa aku akan selalu menyebutmu."



FIN.





Yogyakarta

2 comments:

  1. ayah sosok yang seumpama seperti tembok , mereka datar mereka tidak menunjukkan raut ekspresi, kita pun bahkan tidak penting mengindahkannya tidak seperti pintu dan jendela yang didesain seindah mungkin tapi yang kita tahu tembok akan berdiri terus disitu dan tanpanya rumah bukanlah rumah, sama seperti seorang ayah mungkin ia kaku mungkin ia dingin tapi satu yang kita tahu dia akan selalu disitu untuk menjaga dan melindungi kita baik sadar ataupun tidak sama sekali

    ReplyDelete