Friday, September 12, 2014

Pergi

Bagaimana sakitnya ditinggalkan bukan sebuah masalah bagimu, namun bagiku.

Sesaat sebelum kau berkata usai, aku tahu bahwa sesungguhnya waktuku telah habis untukmu, itu menyakitkan.

Seperti hembusan angin yang membawaku beralih demikian cepat. Seolah aku bukan orang yang tepat, namun sempat.

Kau pun begitu, terbawa genggam orang yang kau sanggah, seolah hanya singgah.

Lalu, Tuhan memberi sebuah hukuman saat menghapusmu dari cerita yang sudah kutulis sedemikian rupa.

Kita pernah sama membayangkan hal-hal bahagia dalam lelap, saat tubuh merapat dan hangat dalam dekap.

Kita pernah sama tinggi dalam debat, seolah tak ada jalan untuk saling tatap dalam hangat.

Kita pernah sama kuat bertahan dari angin yang berembus, pada akhirnya kaki kita goyah, jatuh dan meratap.

Kita pernah sama senyum dalam bincang yang tak putus. Bahkan, saat langit berubah kelam sampai matahari tersenyum hangat penuh sambut.

Namun, ketahuilah, bukan aku tak ingin kau bahagia di sini. Karena paham terkadang salah, maka kau tak mampu menerima tulusnya sayang yang kutawarkan.

Ada yang lebih menyakitkan ketimbang kepergianmu dari jalanku, itu adalah saat aku percaya dongeng peri baik hati, namun ternyata banyak hal yang diingkari.

Sampai akhirnya, kita berpisah di persimpangan, kulihat kau berjalan dengannya dan aku sendiri tersandung batu di jalan setapak.

Kulihat kau dengan mudah mengarungi samudera dengannya, sedangkan aku sendiri, berlayar dengan gontai di tengah deburan ombak.

Sekiranya ada jalan yang begitu mudah kuarungi, aku sadar itu bukan denganmu. Di tengah inginku untuk ada di satu jalan bersamamu. Aku suka, kamu suka, namun ternyata tidak pernah ada kita.

Kuharap, setelah kau tak lagi ada dalam hidupku, dalam sekedip juga aku mampu melupakanmu.

Sunday, September 7, 2014

Cepat Pulang

07 September 2015

"Kamu tahu bagaimana rasanya dibohongi?" kata saya sambil menyeruput kopi hitam yang sudah tersedia di atas meja.

"Tentu, aku profesional tentang itu. Aku pernah dihempaskan sedemikian rupa, sampai terkunci dan tidak percaya lagi," wanita cantik berambut merah mawar di depanku menjawab dengan suaranya yang kekanak-kanakan.

"Untuk usia kamu, yang terbilang muda, kamu rupanya banyak pengalaman, ya?" aku tersenyum.

"Kalau tidak banyak pengalaman, kamu tidak mungkin tertarik untuk berbicara seharian denganku, kan?" ia tersenyum, senyumnya yang khas dan menyebalkan, seolah meremehkan. Ya, wanita berambut merah di hadapan saya memang menyebalkan, sering meremehkan karena sering memenangkan dalam hidupnya. Saya tidak terganggu dengan itu, karena dia juga memenangkan hati saya.

"Hahaha, tertarik? Mungkin, aku tertarik padamu. Mungkin lebih, mungkin juga kurang. Yang pasti, aku nyaman bersamamu," kata saya.

"Contohnya, saat kita berpelukan pagi tadi?" dia mengerenyitkan dahi. Saya tak menjawab, hanya tersenyum, karena yakin dia tahu maksud dari senyum saya itu.

***

Oktober 2015

"Bagaimana kalau kita berpisah saja?" saya bertanya padanya. Wanita berambut merah mawar itu masih memasang tampangnya yang menyebalkan dan pandangannya yang meremehkan orang itu.

"Silakan, kalau kamu mau pergi, aku tidak pernah melarang," jawabnya.

"Baiklah, aku pergi. Kamu tahu kenapa kita berpisah seperti ini?" saya bertanya lagi.

"Karena kamu sudah tidak ingin berjuang bersamaku!" bentaknya.

"Bukan, karena aku menjatuhkan hati dan kepercayaan padamu, namun kamu mengecewakanku," saya melenguh.

"Karena aku suka pada seseorang? Karena aku merasa nyaman berbicara dengan mantanku yang selalu ada? Karena aku sayang teman-temanku?" ia bertanya membabi buta.

"Kamu pikir menyukai orang saat kamu sedang jalan dan berjuang bersamaku itu wajar?" saya menghardiknya.

"Kamu pikir aku tidak punya hati dan tidak bisa merasa kecewa disakiti? Kamu pikir janji hanya untuk dilanggar?" lanjut saya.

"Janji?" ia memicingkan mata.

"Kita berjanji, saat kamu suka dengan orang lain, kamu atau aku pergi. Benar?" saya menjawab. Ia terdiam.

"Kamu hanya bisa diam. Aku tahu kamu disukai banyak orang, bukan berarti kamu bisa meremehkan aku." lanjut saya.

"Tapi, aku suka dia sebagai teman. Tidak lebih! Aku juga tidak meremehkan kamu!" ia memotong.

"Cukup! Sebaiknya kita selesaikan saja, ya? Kamu terlalu egois untuk merasakan sakit yang aku rasa. Setidaknya aku sudah berjuang, walaupun kamu meremehkan."

"Semudah itu?" ia bertanya.

"Sesulit itu! Berbahagialah dengan caramu!" jawab saya lantang. Sejak saat itu, bisu di antara kami berlangsung lama.

***

10 September 2015

"Kamu sungguh mau pulang?" ia bertanya pada saya.

"Tentu, aku harus pulang," saya mengusap rambut merah mawarnya perlahan.

"Kamu akan kembali?" tanyanya.

"Tentu, saat kamu masih menginginkan aku kembali," jawab saya sambil tersenyum.

"Ini, aku titipkan," kuberikan gelang kesayangan saya padanya.

"Untuk apa?" ia tampak kebingungan.

"Aku menitipkan gelang ini, seperti aku menitipkan rasa percaya dan hatiku sama kamu," sesaat kemudian, aku mengecup kening dan memeluknya.

"Aku pulang, ya?" saya mengucapkan kata terakhir itu sebelum menghilang di antara orang-orang yang ramai di bandara. Sesaat kemudian saya menengok ke arahnya, untuk terakhir kali sebelum pulang, saya hanya ingin melihat punggung dan rambut merahnya. Sampai saya sadar, mungkin itu terakhir kali saya melihatnya yang mampu memenangkan hati saya.

Fin.