Friday, September 12, 2014

Pergi

Bagaimana sakitnya ditinggalkan bukan sebuah masalah bagimu, namun bagiku.

Sesaat sebelum kau berkata usai, aku tahu bahwa sesungguhnya waktuku telah habis untukmu, itu menyakitkan.

Seperti hembusan angin yang membawaku beralih demikian cepat. Seolah aku bukan orang yang tepat, namun sempat.

Kau pun begitu, terbawa genggam orang yang kau sanggah, seolah hanya singgah.

Lalu, Tuhan memberi sebuah hukuman saat menghapusmu dari cerita yang sudah kutulis sedemikian rupa.

Kita pernah sama membayangkan hal-hal bahagia dalam lelap, saat tubuh merapat dan hangat dalam dekap.

Kita pernah sama tinggi dalam debat, seolah tak ada jalan untuk saling tatap dalam hangat.

Kita pernah sama kuat bertahan dari angin yang berembus, pada akhirnya kaki kita goyah, jatuh dan meratap.

Kita pernah sama senyum dalam bincang yang tak putus. Bahkan, saat langit berubah kelam sampai matahari tersenyum hangat penuh sambut.

Namun, ketahuilah, bukan aku tak ingin kau bahagia di sini. Karena paham terkadang salah, maka kau tak mampu menerima tulusnya sayang yang kutawarkan.

Ada yang lebih menyakitkan ketimbang kepergianmu dari jalanku, itu adalah saat aku percaya dongeng peri baik hati, namun ternyata banyak hal yang diingkari.

Sampai akhirnya, kita berpisah di persimpangan, kulihat kau berjalan dengannya dan aku sendiri tersandung batu di jalan setapak.

Kulihat kau dengan mudah mengarungi samudera dengannya, sedangkan aku sendiri, berlayar dengan gontai di tengah deburan ombak.

Sekiranya ada jalan yang begitu mudah kuarungi, aku sadar itu bukan denganmu. Di tengah inginku untuk ada di satu jalan bersamamu. Aku suka, kamu suka, namun ternyata tidak pernah ada kita.

Kuharap, setelah kau tak lagi ada dalam hidupku, dalam sekedip juga aku mampu melupakanmu.

1 comment: