Tuesday, December 29, 2015

Suatu Hari Yang Biasa

[1]
Hujan rintik, di tengah suara musik.
Aku menatap diam tubuhmu, terbayang hal-hal baru yang kita lakukan dalam ruang itu.

Kau melangkah lantang dan aku yang terbujur kaku.
Ada gelitik dalam hati, kau kepayahan menutup dusta dan aku terkikik.

Bersimpuh dalam sesal, samudera pun berpindah pada pori-pori matamu.
Kita hentikan napas, cinta hilang dan hati memekik.

[2]
Suara decit kursi di antara pengunjung kafe bersautan, kulihat punggungmu dari kejauhan.

Aku lambaikan tangan, bukan untukmu, namun ia yang mampu memberi pelangi dalam tiap senyumnya setelah hujan mereda.

Kita adalah manusia biasa, yang berjalan melewati cerita biasa. Bertemu di hari yang biasa, mencintai dengan cukup. Seadanya.

Sapa dan peluk kembali pada suatu hari yang biasa. Melupakan cinta pernah hadir dengan luar biasa.

Saturday, September 19, 2015

Kamar



“Aku dengar, di fakultas ekonomi ada hantu mahasiswi yang sering muncul saat kelas malam.”

“Iya, katanya sih begitu.”

“Semoga di fakultas kita nggak ada cerita seram seperti itu.”

Hari senin, siang ini di kantin kampus, Ratna sedang menyantap nasi goreng bersama dua temannya, Tasya dan Sita. Ratna mendengarkan cerita kedua temannya dengan seksama yang sedari tadi membahas urban legend di kampusnya.



Ratna, Sita dan Tasya adalah mahasiswi baru di sebuah  universitas negeri ternama di kota Yogyakarta. Bedanya, Ratna bukan penduduk asli kota gudeg tersebut, ia datang jauh dari kota kembang, Bandung. Mereka bertiga berkenalan saat satu kelompok di ospek fakultas dan berteman hingga sekarang.

Berbeda dari kedua temannya, Ratna adalah perempuan yang cukup pendiam dan tidak banyak bicara, terlebih lagi saat Tasya dan Sita bercerita tentang kejadian horror, Ratna tidak suka karena ia penakut.

“Na, kamu sariawan? Dari tadi diam aja,” Sita menepuk pundak Ratna yang masih berusaha tidak mendengar cerita seram yang sedang dibicarakan kedua temannya.

“Nggak,” jawab Ratna seadanya.

“Ah, aku lupa! Ratna kan memang penakut,” timpal Tasya.

“Oh, iya,” Sita menyunggingkan bibirnya.

“Padahal, aku baru saja mau cerita tentang kos kamu, Na,” Tasya menatap Ratna dalam-dalam.

“Cerita apa, Sya?” Ratna memicingkan matanya.

“Iya, apa?” Sita menimpali.

“Nggak deh, nanti Ratna makin ketakutan,” Tasya mengangkat bahunya.

“Ayo dong cerita, aku penasaran,” rengek Sita.


“Hmmm, Ratna nggak apa-apa nih?”

Ratna menggelengkan kepalanya dan meletakkan sendok untuk mendengar cerita Tasya, “Nggak, nggak apa-apa, cerita aja.”

“Beneran?”

“Udah, buruan cerita,”

“Iya, nggak apa-apa, cerita aja.”

“Ini tentang kos kamu, Na,” Tasya mengecilkan suaranya, seolah sedang berbisik pada kedua temannya.

“Aku dengar dari teman SMA-ku, kos yang kamu tinggali itu bekas rumah tua yang berhantu,” tambahnya.

Keheningan terjadi beberapa saat di antara mereka bertiga, Sita memasang muka yang berkata “lanjutkan ceritanya,” namun Ratna sebaliknya, ia tampak kecewa dengan apa yang baru saja didengarnya.

“Jadi, katanya di kos Ratna itu dulu ada cewek yang…”

“Udah, ah. Balik ke kelas, yuk. Aku nggak mau dengar,” Ratna berdiri dari tempat duduknya.

“Yah… penonton kecewa,” Sita mengeluh.

“Hahaha, ya sudah, nanti aku certain ke kamu, Ta. Kasihan Ratna juga, nanti nggak bisa tidur di kos karena ketakutan,” seloroh Tasya.

“Bodo amat! Yuk, ke kelas,” ajak Ratna. Belum juga kaki Ratna melangkah, tangannya sudah ditahan oleh Tasya.

“Tapi, kalau benar di kos kamu ada hantu gimana?” kali ini wajah Tasya tampak sangat serius.
Ratna mengayunkan tangannya agar genggaman Tasya terlepas, “Aku nggak mau dengar,” dan ia melangkah meninggalkan dua temannya di kantin menuju kelas.

*


Hari kamis, pada sore hari yang cerah. Ratna baru saja menyelesaikan kelasnya dan langsung kembali ke kos. Ia masuk ke dalam kamar dan langsung berbaring di atas tempat tidur. Tak lama kemudian, ia terlelap.

*

Suara dering telepon terdengar, Ratna meraba-raba kamarnya yang gelap mencari telepon genggamnya. Ia menatap layar handphone-nya dan mendapati nama Tasya di sana.

“Ya, halo?”

“Na, aku mau ke rumah Sita. Kamu mau ikut nggak?”

“Nggak deh, aku capek banget. Ini aja baru bangun, mandi juga belum dari tadi.”

“Oh, ya udah kalau gitu, met istirahat, ya.”

“Oke.”

“Eh, Na.”

“Kenapa, Sya?”

“Cuma mau ingetin aja, ini malam jumat kliwon,” gelak tawa Tasya meledak. Ratna langsung menutup teleponnya dengan kesal. Ia melihat kalau kamarnya sudah gelap, bahkan tidak ada cahaya matahari lagi yang tampak di jendela kosnya. Ratna memandangi layar handphone dan mendapati kalau hari sudah menunjukkan pukul 20.00. Ia bangun dari kasur dan menutup gordennya, lalu ia menyalakan lampu kamarnya.

Malam itu, kos Ratna terasa lebih sepi dari biasanya. Kos Ratna memang sebuah bangunan lama yang sudah direnovasi. Terdapat 10 kamar yang terdiri dari dua lantai. Masing-masing lantai memiliki lima kamar, di pintu masuk kos terdapat satu kamar lagi untuk penjaga.

Kos Ratna sendiri ditinggali oleh 7 orang wanita, 3 kamar lainnya masih tanpa penghuni. 5 kamar di bawah terisi penuh, sedangkan Ratna berada di lantai 2 bersama dengan teman sebelah kamarnya yang bernama Susi.

Ratna keluar dari kamarnya untuk melihat anak kos lainnya. Yang pertama, ia melihat ke kamar Susi. Kamar itu gelap dan tampak sedang ditinggal oleh penghuninya.

Ratna berjalan turun melewati tangga dan mendapati semua kamar tidak menyalakan lampu, kecuali kamar Lila, salah satu penghuni kos di lantai pertama.

Ratna bergegas menuju kamar Lila, tiba-tiba Lila keluar dari kamarnya membawa sebuah tas ransel besar dan mematikan lampu kamarnya.

“Lho, kak Lila mau keluar?”

“Eh, Ratna. Nggak, aku mau pulang ke Wonosobo,” jawab Lila seraya mengunci pintu kamarnya.

“Oh, gitu. Terus, anak-anak lain pada kemana?”

“Mereka juga pulang, Na. Mumpung besok senin libur nasional,” Lila mengangkat tas ransel ke punggungnya, “Ya, udah. Gue balik dulu, Na. Travelnya udah nunggu di depan,” Lila pun berjalan melewati Ratna.

“Yah, aku sendirian dong,” keluh Ratna.

“Tenang, kan ada mas Jito. Penjaga kos kita yang paling setia," ucap Lila sambil berlalu.

Beberapa saat kemudian, Lila sudah meninggalkan Ratna sendirian di kos. Hawa dingin menusuk kulit Ratna, ia pun memutuskan kemali ke kamarnya.

Sesampai di kamar, Ratna mengambil handphone dan menelpon Tasya.

“Sya, kamu nginep di kos aku dong. Ajak Sita juga nggak apa-apa.”

“Loh, emang ada apa, Na?”

“Aku sendirian nih di kos, anak-anak kos pada balik. Aku lupa kalau ini long weekend.”

“Ciyeee… ada yang ketakutan nih,” terdengar suara Sita tertawa dari kejauhan.

“Ah, jahat kalian. Ayo dong ke kos, nginep sini.”

“Iya, tunggu aja. Nanti aku dan Sita ke sana.”

“Sip, jangan bohong.”

Ratna menutup teleponnya. Untuk menunggu teman-temannya datang, ia memutuskan untuk mandi terlebih dahulu. Membuang waktu, supaya tidak kepikiran tentang sepinya kos itu, pikirnya.


*

Ratna mengambil handuk yang ia gantung di pintu kamar mandi, ia mengeringkan tubuhnya, lalu memakai pakaian yang sudah ia siapkan. Belum selesai ia mengenakan pakaian, lamat-lamat terdengar suara langkah di kamarnya. Awalnya, Ratna tidak peduli, tapi karena suara itu semakin ketara, ia penasaran.

Ratna menggenggam knop pintu kamar mandinya, tiba-tiba saja lampu mati. Dengan cepat ia memutar knop pintu dan berhambur keluar kamar mandi.

“BAAA!”

 Ratna tersentak sampai terjatuh oleh teriakan itu, ia menutup telinganya dan meringkuk di lantai. Suara tawa meledak, Ratna hapal betul suara itu, suara tawa Tasya. Ia pun mengangkat kepalanya dan melihat Tasya sedang terpingkal-pingkal menatapnya.

“Sya!”

“Hahaha, sorry, Na. Tapi ekspresi kamu lucu banget.”

“Nggak, ini nggak lucu!” Ratna berdiri sambil menekuk mukanya yang memerah karena marah bercampur malu.

“Hahaha… maap, ya, Ratnaku sayang.” Tasya membujuk.

“Udah deh, jangan gitu lagi. Untung aku nggak sakit jantung.”

“Iya, maaf ya.” Tasya tersenyum sambil memeluk Ratna dari belakang.

Walaupun kesal, Ratna sendiri merasa aman karena temannya sudah datang menemaninya. Malam itu ia tidak lagi sendirian.

“Eh, Sya. Sita kemana?” tanya Ratna sambil mengeringkan rambutnya di depan kaca rias.

“Dia mau pergi ke Solo besok pagi sama keluarga, makanya nggak jadi ikut,” Tasya berbaring di kasur sambil membuka buku novel yang ada di meja Ratna.

“Oh, gitu.”

Telepon genggam Ratna berdering.

“Eh, Na. Aku boleh bikin teh, kan?” tanya Tasya.

“Boleh, itu dispensernya ada di pojok,” Ratna melihat ke arah Tasya dari cerminnya.
Tasya bangkit dari tempat tidur, ia mengambil gelas dan berjalan menuju dispenser. Ratna melihat ke arah telepon genggamnya dan membuka pesan yang baru saja masuk.

From: Tasya Dania
Ratna, aku sama Sita agak telat, ya. Ini ban motorku bocor. Mungkin 15 menit lagi sampai.

“Loh, Sya, kamu ngapain sms aku?"

“Oh, itu udah dari tadi kok. Mungkin pending dan baru masuk sekarang.”

Ratna selesai mengeringkan rambutnya, lalu ia terpaku sambil menatap bayangannya di cermin sejenak.

“Sya, di sms, kamu bilang ngajakin Sita. Kok tadi kamu bilang dia mau ke Solo?” Ratna memicingkan matanya, kali ini tatapannya berpindah ke arah Tasya dari cerminnya. Tampak Tasya masih duduk di depan dispenser sambil mengaduk gelasnya yang berisi teh.

Tasya tidak menjawab, kamar menjadi hening beberapa saat.

“Sya,” Ratna menengok pada Tasya perlahan, Tasya masih tidak menjawabnya.

Ratna berdiri dan menghampiri Tasya. Ia menepuk pundak Tasya. Tasya tiba-tiba memutar kepalanya 180 derajat, menatap Ratna, menyeringai dengan muka penuh darah.
 


*

Handphone Ratna berdering, terlihat sebuah pesan baru saja masuk.

From: Tasya Dania
Na, kamu pergi? Kamar kamu kosong, lampunya juga mati. Kalau pergi kabarin dong, aku dan Sita kan udah keburu sampai kosmu. Kami balik aja deh.



Fin.

PS: Jangan tidur sendirian

Thursday, September 10, 2015

Kembali Padanya



‘Rizal, kau di mana? Bisa jemput aku di bar?’

‘Kau mabuk, Van?’

‘Tidak, aku tidak mabuk, tapi sekarang aku butuh kau.’

‘Aku ke sana sekarang.’

*
taken from google.com

Baru saja Vania menelepon saya dengan suara yang ceria, seperti Vania yang saya kenal. Namun kali ini saya merasakan getir dan kesedihan mendalam terjadi padanya. Delapan tahun bukan waktu yang sebentar untuk kami saling mengenal. Kebiasaan dan perubahan kecilnya pun saya sangat hapal. 

Saya menekan gas mobil dengan kuat tanpa peduli dengan diri saya sendiri menuju bar dimana ia berada, karena setahu saya, Vania bukan wanita yang suka mabuk

*

Tuesday, September 8, 2015

Dari Gudeg Cakar Sampai Embun Pagi Ketep



Halo pembaca blog saya yang sangat setia. Maafkan atas kepayahan saya dalam mengurus blog ini, sudah setahun tidak ada tulisan baru. Namun, saya sangat berterimakasih karena kalian masih setia menunggu dan menyemangati saya untuk tetap menulis.

Bagi penulis, pembaca adalah segala-galanya, demikianlah kalian untuk saya. Sekali lagi saya ucapkan maaf sebesar-besarnya atas penantian panjang kalian dan terima kasih banyak atas kesabarannya, bahkan kesetiaan kalian tidak ternilai untuk saya.

Baiklah, kali ini saya akan menulis tentang jejak perjalanan saya yang terjadi sekitar dua minggu yang lalu, tepat di penghujung bulan agustus. Saya menamakan perjalanan saya ini dengan Trip Impulsif dan kalian akan memahaminya setelah membaca keseluruhan cerita ini.

Impulsif, satu kata yang sering kalian dengar tentunya. Bagi kalian yang tidak pernah mendengar kata impulsif, akan saya jelaskan dengan singkat. Impulsif adalah suatu dorongan yang didasari oleh keinginan atau untuk pemuasa secara sadar maupun tidak sadar. Sedangkan bertindak impulsif berarti suatu tindakan yang didasari oleh adanya dorongan untuk mengekspresikan keinginan.

Bertindak impulsif juga bisa berarti melakukan sesuatu tanpa pemikiran panjang, spontanitas tentunya. Hal-hal seperti ini bisa menghadirkan kesenangan, namun juga bisa berakibat negative dan penyesalan. Semua tergantung apa yang dialami setelah mengambil tindakan.

*

‘Kalian ini mau kemana?’ ucap seorang polisi pada teman saya yang bernama Ichan.

‘Ke ATM, pak,’ Ichan menjawab dengan senyum kecut.

‘Ya Allah,’ petugas polisi itu menepuk dahinya, setengah tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

Kalimat yang diucapkan polisi dan teman saya, Ichan, mengembalikan memori saya pada perjalanan kami di malam hari sebelumnya.