Tuesday, September 8, 2015

Dari Gudeg Cakar Sampai Embun Pagi Ketep



Halo pembaca blog saya yang sangat setia. Maafkan atas kepayahan saya dalam mengurus blog ini, sudah setahun tidak ada tulisan baru. Namun, saya sangat berterimakasih karena kalian masih setia menunggu dan menyemangati saya untuk tetap menulis.

Bagi penulis, pembaca adalah segala-galanya, demikianlah kalian untuk saya. Sekali lagi saya ucapkan maaf sebesar-besarnya atas penantian panjang kalian dan terima kasih banyak atas kesabarannya, bahkan kesetiaan kalian tidak ternilai untuk saya.

Baiklah, kali ini saya akan menulis tentang jejak perjalanan saya yang terjadi sekitar dua minggu yang lalu, tepat di penghujung bulan agustus. Saya menamakan perjalanan saya ini dengan Trip Impulsif dan kalian akan memahaminya setelah membaca keseluruhan cerita ini.

Impulsif, satu kata yang sering kalian dengar tentunya. Bagi kalian yang tidak pernah mendengar kata impulsif, akan saya jelaskan dengan singkat. Impulsif adalah suatu dorongan yang didasari oleh keinginan atau untuk pemuasa secara sadar maupun tidak sadar. Sedangkan bertindak impulsif berarti suatu tindakan yang didasari oleh adanya dorongan untuk mengekspresikan keinginan.

Bertindak impulsif juga bisa berarti melakukan sesuatu tanpa pemikiran panjang, spontanitas tentunya. Hal-hal seperti ini bisa menghadirkan kesenangan, namun juga bisa berakibat negative dan penyesalan. Semua tergantung apa yang dialami setelah mengambil tindakan.

*

‘Kalian ini mau kemana?’ ucap seorang polisi pada teman saya yang bernama Ichan.

‘Ke ATM, pak,’ Ichan menjawab dengan senyum kecut.

‘Ya Allah,’ petugas polisi itu menepuk dahinya, setengah tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

Kalimat yang diucapkan polisi dan teman saya, Ichan, mengembalikan memori saya pada perjalanan kami di malam hari sebelumnya.


*

‘Gue lapar,’ celetuk salah seorang teman saya. Namanya Bagus Baskoro, anak Jakarta yang merantau ke Jogja. Seorang gamers sejati yang menjadi anak mobil dadakan. Dia mahasiswa tingkat awal di sebuah universitas negeri ternama di Yogyakarta, walaupun sebenarnya, usianya lebih cocok menjadi mahasiswa tingkat akhir.

Malam itu, saya dan tiga orang lainnya, termasuk Bagus, sedang duduk mengelilingi meja bundar yang ada di sebuah kafe yang terkenal dengan donatnya. Dua teman saya yang lain adalah Yudish, seorang dengan perawakan gendut yang sedang mencari pekerjaan setelah mengundurkan diri dari perusahaan tempat bekerja sebelumnya. Dan satunya bernama Ichan, sama dengan Yudish, Ichan memiliki perawakan yang gendut. Ichan bekerja sebagai seorang buruh di sebuah perusahaan TV lokal di kota Yogyakarta ini.

‘Gue juga lapar, makan, yuk!’ Yudish mengiyakan kata-kata Bagus sebelumnya.

‘Makan dimana?’ tanya saya.

‘Burjo Suvit aja,’ jawab Bagus. Burjo Suvit adalah singkatang dari Bubur kacang ijo sumber vitamin, tempatnya berada tepat di perempatan kentungan jalan Kaliurang, Sleman, Yogyakarta. Lengkap, kan?

‘Oke,’ secara serentak, saya dan Yudish menyetujuinya.

‘Gimana kalau makan gudeg cakar?’ tiba-tiba teman saya yang bernama Ichan mengeluarkan pernyataan yang memancing terjadinya perjalanan ini.
Saya, Bagus dan Yudish saling tatap beberapa saat, ‘Gudeg cakar itu dimana, Chan?’ tanya Bagus.

‘Solo.’

*

Jujur saja, ini salah satu keputusan yang paling aneh di dalam hidup saya. Saat ini saya sudah berada satu mobil dengan Bagus, Yudish dan Ichan. Kami berempat benar-benar menuju Solo untuk makan malam. Menu yang kami cari? Gudeg cakar.

Tanpa pikir panjang, setelah Ichan mengucapkan, ‘Solo,’ kami semua mengiyakan dan segera menitipkan kendaraan kami di kantor Ichan yang terletak di jalan lingkar utara Jogja. Hanya untuk mengenyangkan perut, kami rela menempuh perjalanan selama satu jam dari Jogja ke Solo.

Sayangnya, saya dan ketiga teman saya sama sekali tidak tahu dimana lokasi gudeg cakar tersebut. Alhasil, saya bertanya ke beberapa teman yang ada di Solo untuk mendapatkan tempat makan gudeg cakar yang paling nikmat.

Teman saya menyarankan untuk mendatangi gudeg cakar yang berada di depan SMA N 1 Surakarta. Dengan aplikasi Waze dan sinyal kuat dari Telkomsel, kami berempat melaju dengan kecepatan tinggi demi mengobati rasa lapar yang sedari tadi sudah menghantui.

*

‘Gudeg cakarnya sudah habis, pak?’ tanya saya pada seorang paruh baya yang memiliki kumis lebat dan berbaju batik di hadapan saya.

‘Belum, mas. Baru buka pukul 02.00,’ jawabnya.

Tampaknya, kami terlalu dini sampai ke lokasi yang dituju. Pukul 01.00 kami tiba dan penjual gudeg cakar itu masih bersih-bersih sambil mendirikan tenda tempat mereka dagang. Karena sudah kepalang tanggung, kami berempat memutuskan untuk menunggu di sekitar alun-alun utara Solo.

Mobil yang kami tunggangi

Jalan di alun-alun utara Solo

Alun-alun utara Solo sendiri ternyata ramai jajanan di pinggir jalan, salah satunya adalah bakso telur goreng. Kami memarkirkan mobil di pinggir jalan dan membeli 30 tusuk bakso telur goreng yang ada di sekitar alun-alun itu. Lumayan, untuk mengganjal perut  yang sudah mengeluarkan bunyi sedari tadi.

(Ki-Ka) Mamang penjual bakso goreng, Bagus dan Ichan

‘Ini makan malam paling aneh, mau makan malam aja sampai ke Solo,’ kata saya.

‘Justru di situ serunya, Yon. Buat cerita anak cucu,’ Yudish menimpali.

‘Dari Solo ke Surabaya itu berapa jam sih?’ tiba-tiba Bagus bertanya.

‘Mungkin sekitar 8 jam, lewat jalur tengah,’ jawab saya sambil melahap satu tusuk bakso goreng yang ada di tangan kanan. Saya berhenti mengunyah, lalu menatap Bagus.

‘Jangan bilang lo mau ke Surabaya demi makan rawon setan?’

*

Perdebatan panjang antara saya, Yudish, Bagus melawan Ichan masih berlangsung saat kami menuju tempat gudeg cakar. Perdebatan itu terjadi karena kami bertiga ingin ke Surabaya, sedangkan Ichan menolak karena harus bekerja keesokan harinya.

Kami bertiga harus memutar otak karena Ichan menyanggupi ikut ke Surabaya asalkan ada alasan untuk membolos dari pekerjaannya. ‘Udah, nanti dipikirkan lagi, mending makan dulu saja,’ kata Ichan yang berusaha menolak ajakan ke Surabaya.

Sesampainya di gudeg cakar SMA N 1 Surakarta, kami melihat banyak sekali mobil dan motor yang sudah mengisi tempat parkir di kanan-kiri jalan. Ekspektasi saya meningkat, jujur saja, ini pertama kalinya saya menyantap gudeg cakar Solo.

Mbah-mbah penjual gudeg cakar

Mbah-mbah penjual gudeg caka (2)
Setelah mendapat tempat parkir, kami berempat mulai memesan. Dengan kalap, saya meminta nasi gudeg cakar ditambah uritan (semacam telur ayam yang belum jadi) dan dada ayam beserta es teh sebagai minumnya. Kami berempat pun duduk lesehan di atas sebuah tikar, tampak banyak sekali pengunjung yang datang, sehingga mereka harus duduk di trotoar jalan demi menyantap gudeg cakar ini.

Saya pikir, dengan banyaknya lauk yang saya pilih, harga makanan yang saya makan itu sangat mahal. Mungkin di atas Rp 50,000,-, tapi ternyata tebakan saya salah. Saya hanya perlu mengeluarkan Rp 38,000,- saja! Murah dan kenyang, cocok untuk kantong mahasiswa, kan?

Satu piring penuh gudeg cakar yang saya makan

Wajar saja kalau gudeg cakar itu ramai, ternyata memang hanya ada beberapa kuliner Solo yang buka sampai subuh dan salah satunya gudeg cakar ini. Harga yang murah, makanan yang enak dan porsi yang banyak menjadi idaman semua orang.

Setelah selesai makan, kami memutuskan untuk kembali ke Jogja. Keputusan itu diambil bersama karena kami merasa kasihan dengan Ichan yang harus berangkat kerja keesokan harinya, rencana ke Surabaya dan mencoba rawon setan pun kami urungkan sementara.

‘Nanggung juga, ya? Sudah sampai keluar kota, tapi cuma ke Solo saja,’ kata Bagus.

‘Enaknya kemana nih? Semarang?’ tanya Yudish.

‘Ah, gue tinggal di Semarang 2,5 tahun tapi nggak pernah keluar pagi sih, kecuali ke kampus doang,’ kata saya.

‘Jadi, enaknya kemana?’ Yudish kembali bertanya.

‘Ketep, Magelang,’ Ichan menjawab.

*

Di perjalanan menuju Ketep, kami bertiga mendengarkan lagu dari Sheila On 7, salah satu band terkenal yang berasal dari kota Jogja. Di dalam mobil, kami bernyanyi sekencang-kencangnya. Lambat laun, Yudish mulai kehilangan tenaganya dan tertidur. Wajar saja, karena waktu telah menunjukkan pukul 04.00.

Sebelum tiba di Ketep, kami harus melewati jalan yang berliku dan mendaki. Saya baru ingat kalau mobil yang kami tunggangi adalah mobil tua yang di modifikasi. Sesampainya di belokan tajam, mobil terhenti dan berjalan mundur. Di belakang kami ada truk yang sudah menunggu.

Dengan segera, Bagus menarik rem tangan, lalu meminta saya, Yudish, dan Ichan turun dari mobil untuk memberi aba-aba padanya. Kami menepikan mobil sejenak, menunggu jalan sepi untuk mulai mendaki lagi.

‘Gue mulai menyesali pilihan ini,’ kata Ichan yang masih panik. ‘Harusnya kita nggak usah ke Ketep,’ lanjutnya.

Mengabaikan kata-kata Ichan, Bagus pun mengemudikan mobil untuk mendaki. Saya, Ichan dan Yudish harus berjalan kaki menyusulnya. Karena udara dingin, kami pun berlari seperti dikejar setan. 

Setibanya di Ketep, kami menunggu matahari terbit dan foto-foto sejenak, sebelum akhirnya kembali ke Jogja.

Merapi di pagi hari

Ichan dan Saya, sungguh kami normal


Yudish yang entah ngapain

Bagus, supir travel antar kota - propinsi

Ketep pass yang masih sepi di pagi hari

*

Dalam setiap perjalanan, ada satu orang yang paling bodoh. Saya dan teman saya yang lain memang bodoh karena melakukan perjalanan tanpa persiapan apa pun. Namun, selalu ada yang paling bodoh di antara kita semua.

Bagian akhir dari cerita ini telah saya lampirkan di bagian awal. Di sini saya akan menceritakan detil kejadian yang sesungguhnya dengan beberapa foto dan video.

‘Gus, gue mau ambil duit di ATM mandiri,’ kata Ichan sambil menunjuk sebuah ATM yang berada di dalam Polda DIY (jalan lingkar utara, dekat dengan kantor Ichan).

‘Lewat mana?’ tanya Bagus.

‘Ini, masuk aja,’ Ichan menunjuk pintu masuk Polda DIY.

Sesampainya di pintu masuk Polda DIY, tampak banyak sekali polisi masih melakukan apel pagi. Bagus menghentikan mobil, berusaha mundur dan keluar dari kantor Polda. Sayangnya, di belakang sudah ada mobil menanti, mau tidak mau kami harus masuk dan menunggu apel selesai.

‘ICHAN!’ saya, Yudish dan Bagus menggeram bersama.

Penutup hari dan trip yang sangat sempurnya, berada 30 menit di kantor polisi dengan mobil modif yang memiliki knalpot bersuara gahar. Dengan kejadian ini, Ichan terpilih menjadi dumbest di antara kami.

Masuk ke kantor polisi
Ichan dengan santai masih utak-atik HP
Terpaksa berhenti karena di depan ada bus polisi dan apel pagi
Tidak bisa mundur karena ada apel pagi juga di belakang
Si bodoh yang masih tersenyum santai di depan ATM
Terima kasih bapak/ibu polda DIY yang baik hati telah membiarkan kami lewat


Link video silakan klik di sini
*

Perjalanan adalah pengalaman, dari pengalaman kita mendapatkan pelajaran dan cerita. Saya benar-benar memahami arti dari kata-kata itu saat menempuh perjalanan bersama ketiga teman saya. Setelah ini, kami berempat merencanakan trip secara impulsif lagi lain kali. Bisa sebulan sekali, atau bahkan seminggu sekali. Kami juga berencana lebih banyak menggunakan foto Instagram dan video di Youtube, ketimbang tulisan di blog.

Nantikan kami di kota-kota kalian, ya!

No comments:

Post a Comment