Halo pembaca blog saya yang
sangat setia. Maafkan atas kepayahan saya dalam mengurus blog ini, sudah
setahun tidak ada tulisan baru. Namun, saya sangat berterimakasih karena kalian
masih setia menunggu dan menyemangati saya untuk tetap menulis.
Bagi penulis, pembaca adalah
segala-galanya, demikianlah kalian untuk saya. Sekali lagi saya ucapkan maaf
sebesar-besarnya atas penantian panjang kalian dan terima kasih banyak atas
kesabarannya, bahkan kesetiaan kalian tidak ternilai untuk saya.
Baiklah, kali ini saya akan
menulis tentang jejak perjalanan saya yang terjadi sekitar dua minggu yang lalu,
tepat di penghujung bulan agustus. Saya menamakan perjalanan saya ini dengan
Trip Impulsif dan kalian akan memahaminya setelah membaca keseluruhan cerita
ini.
Impulsif, satu kata yang sering
kalian dengar tentunya. Bagi kalian yang tidak pernah mendengar kata impulsif,
akan saya jelaskan dengan singkat. Impulsif adalah suatu dorongan yang didasari
oleh keinginan atau untuk pemuasa secara sadar maupun tidak sadar. Sedangkan
bertindak impulsif berarti suatu tindakan yang didasari oleh adanya dorongan untuk
mengekspresikan keinginan.
Bertindak impulsif juga bisa
berarti melakukan sesuatu tanpa pemikiran panjang, spontanitas tentunya.
Hal-hal seperti ini bisa menghadirkan kesenangan, namun juga bisa berakibat
negative dan penyesalan. Semua tergantung apa yang dialami setelah mengambil
tindakan.
*
‘Kalian ini mau kemana?’ ucap
seorang polisi pada teman saya yang bernama Ichan.
‘Ke ATM, pak,’ Ichan menjawab
dengan senyum kecut.
‘Ya Allah,’ petugas polisi itu menepuk dahinya, setengah tidak percaya dengan apa
yang didengarnya.
Kalimat yang diucapkan polisi dan
teman saya, Ichan, mengembalikan memori saya pada perjalanan kami di malam hari
sebelumnya.
*
‘Gue lapar,’ celetuk salah
seorang teman saya. Namanya Bagus Baskoro, anak Jakarta yang merantau ke Jogja.
Seorang gamers sejati yang menjadi anak mobil dadakan. Dia mahasiswa tingkat
awal di sebuah universitas negeri ternama di Yogyakarta, walaupun sebenarnya,
usianya lebih cocok menjadi mahasiswa tingkat akhir.
Malam itu, saya dan tiga orang
lainnya, termasuk Bagus, sedang duduk mengelilingi meja bundar yang ada di
sebuah kafe yang terkenal dengan donatnya. Dua teman saya yang lain adalah
Yudish, seorang dengan perawakan gendut yang sedang mencari pekerjaan setelah
mengundurkan diri dari perusahaan tempat bekerja sebelumnya. Dan satunya
bernama Ichan, sama dengan Yudish, Ichan memiliki perawakan yang gendut. Ichan
bekerja sebagai seorang buruh di sebuah perusahaan TV lokal di kota Yogyakarta
ini.
‘Gue juga lapar, makan, yuk!’
Yudish mengiyakan kata-kata Bagus sebelumnya.
‘Makan dimana?’ tanya saya.
‘Burjo Suvit aja,’ jawab Bagus.
Burjo Suvit adalah singkatang dari Bubur kacang ijo sumber vitamin, tempatnya
berada tepat di perempatan kentungan jalan Kaliurang, Sleman, Yogyakarta.
Lengkap, kan?
‘Oke,’ secara serentak, saya dan
Yudish menyetujuinya.
‘Gimana kalau makan gudeg cakar?’
tiba-tiba teman saya yang bernama Ichan mengeluarkan pernyataan yang memancing
terjadinya perjalanan ini.
Saya, Bagus dan Yudish saling
tatap beberapa saat, ‘Gudeg cakar itu dimana, Chan?’ tanya Bagus.
‘Solo.’
*
Jujur saja, ini salah satu
keputusan yang paling aneh di dalam hidup saya. Saat ini saya sudah berada satu
mobil dengan Bagus, Yudish dan Ichan. Kami berempat benar-benar menuju Solo
untuk makan malam. Menu yang kami cari? Gudeg cakar.
Tanpa pikir panjang, setelah
Ichan mengucapkan, ‘Solo,’ kami semua mengiyakan dan segera menitipkan
kendaraan kami di kantor Ichan yang terletak di jalan lingkar utara Jogja.
Hanya untuk mengenyangkan perut, kami rela menempuh perjalanan selama satu jam
dari Jogja ke Solo.
Sayangnya, saya dan ketiga teman saya sama sekali tidak tahu dimana lokasi gudeg cakar tersebut. Alhasil, saya bertanya ke beberapa teman yang ada di Solo untuk mendapatkan tempat makan gudeg cakar yang paling nikmat.
Teman saya menyarankan untuk
mendatangi gudeg cakar yang berada di depan SMA N 1 Surakarta. Dengan aplikasi Waze dan sinyal kuat dari Telkomsel,
kami berempat melaju dengan kecepatan tinggi demi mengobati rasa lapar yang
sedari tadi sudah menghantui.
*
‘Gudeg cakarnya sudah habis,
pak?’ tanya saya pada seorang paruh baya yang memiliki kumis lebat dan berbaju
batik di hadapan saya.
‘Belum, mas. Baru buka pukul
02.00,’ jawabnya.
Tampaknya, kami terlalu dini
sampai ke lokasi yang dituju. Pukul 01.00 kami tiba dan penjual gudeg cakar itu
masih bersih-bersih sambil mendirikan tenda tempat mereka dagang. Karena sudah
kepalang tanggung, kami berempat memutuskan untuk menunggu di sekitar alun-alun
utara Solo.
Alun-alun utara Solo sendiri
ternyata ramai jajanan di pinggir jalan, salah satunya adalah bakso telur
goreng. Kami memarkirkan mobil di pinggir jalan dan membeli 30 tusuk bakso
telur goreng yang ada di sekitar alun-alun itu. Lumayan, untuk mengganjal
perut yang sudah mengeluarkan bunyi
sedari tadi.
‘Ini makan malam paling aneh, mau
makan malam aja sampai ke Solo,’ kata saya.
‘Justru di situ serunya, Yon.
Buat cerita anak cucu,’ Yudish menimpali.
‘Dari Solo ke Surabaya itu berapa
jam sih?’ tiba-tiba Bagus bertanya.
‘Mungkin sekitar 8 jam, lewat
jalur tengah,’ jawab saya sambil melahap satu tusuk bakso goreng yang ada di
tangan kanan. Saya berhenti mengunyah, lalu menatap Bagus.
‘Jangan bilang lo mau ke Surabaya
demi makan rawon setan?’
*
Perdebatan panjang antara saya,
Yudish, Bagus melawan Ichan masih berlangsung saat kami menuju tempat gudeg
cakar. Perdebatan itu terjadi karena kami bertiga ingin ke Surabaya, sedangkan
Ichan menolak karena harus bekerja keesokan harinya.
Kami bertiga harus memutar otak
karena Ichan menyanggupi ikut ke Surabaya asalkan ada alasan untuk membolos
dari pekerjaannya. ‘Udah, nanti dipikirkan lagi, mending makan dulu saja,’ kata
Ichan yang berusaha menolak ajakan ke Surabaya.
Sesampainya di gudeg cakar SMA N
1 Surakarta, kami melihat banyak sekali mobil dan motor yang sudah mengisi
tempat parkir di kanan-kiri jalan. Ekspektasi saya meningkat, jujur saja, ini
pertama kalinya saya menyantap gudeg cakar Solo.
Mbah-mbah penjual gudeg cakar |
Mbah-mbah penjual gudeg caka (2) |
Setelah mendapat tempat parkir,
kami berempat mulai memesan. Dengan kalap, saya meminta nasi gudeg cakar
ditambah uritan (semacam telur ayam yang belum jadi) dan dada ayam beserta es
teh sebagai minumnya. Kami berempat pun duduk lesehan di atas sebuah tikar,
tampak banyak sekali pengunjung yang datang, sehingga mereka harus duduk di
trotoar jalan demi menyantap gudeg cakar ini.
Saya pikir, dengan banyaknya lauk
yang saya pilih, harga makanan yang saya makan itu sangat mahal. Mungkin di
atas Rp 50,000,-, tapi ternyata tebakan saya salah. Saya hanya perlu
mengeluarkan Rp 38,000,- saja! Murah dan kenyang, cocok untuk kantong
mahasiswa, kan?
Wajar saja kalau gudeg cakar itu
ramai, ternyata memang hanya ada beberapa kuliner Solo yang buka sampai subuh
dan salah satunya gudeg cakar ini. Harga yang murah, makanan yang enak dan
porsi yang banyak menjadi idaman semua orang.
Setelah selesai makan, kami memutuskan
untuk kembali ke Jogja. Keputusan itu diambil bersama karena kami merasa
kasihan dengan Ichan yang harus berangkat kerja keesokan harinya, rencana ke Surabaya dan mencoba rawon setan pun kami urungkan sementara.
‘Nanggung juga, ya? Sudah sampai
keluar kota, tapi cuma ke Solo saja,’ kata Bagus.
‘Enaknya kemana nih? Semarang?’
tanya Yudish.
‘Ah, gue tinggal di Semarang 2,5
tahun tapi nggak pernah keluar pagi sih, kecuali ke kampus doang,’ kata saya.
‘Jadi, enaknya kemana?’ Yudish
kembali bertanya.
‘Ketep, Magelang,’ Ichan
menjawab.
*
Di perjalanan menuju Ketep, kami
bertiga mendengarkan lagu dari Sheila On 7, salah satu band terkenal yang
berasal dari kota Jogja. Di dalam mobil, kami bernyanyi sekencang-kencangnya.
Lambat laun, Yudish mulai kehilangan tenaganya dan tertidur. Wajar saja, karena
waktu telah menunjukkan pukul 04.00.
Sebelum tiba di Ketep, kami harus
melewati jalan yang berliku dan mendaki. Saya baru ingat kalau mobil yang kami
tunggangi adalah mobil tua yang di modifikasi. Sesampainya di belokan tajam,
mobil terhenti dan berjalan mundur. Di belakang kami ada truk yang sudah menunggu.
Dengan segera, Bagus menarik rem tangan, lalu meminta saya, Yudish, dan
Ichan turun dari mobil untuk memberi aba-aba padanya. Kami menepikan mobil sejenak, menunggu jalan sepi untuk mulai mendaki lagi.
‘Gue mulai menyesali pilihan
ini,’ kata Ichan yang masih panik. ‘Harusnya kita nggak usah ke Ketep,’
lanjutnya.
Mengabaikan kata-kata Ichan,
Bagus pun mengemudikan mobil untuk mendaki. Saya, Ichan dan Yudish harus
berjalan kaki menyusulnya. Karena udara dingin, kami pun berlari seperti
dikejar setan.
Setibanya di Ketep, kami menunggu
matahari terbit dan foto-foto sejenak, sebelum akhirnya kembali ke Jogja.
Merapi di pagi hari |
Ichan dan Saya, sungguh kami normal |
Yudish yang entah ngapain |
Bagus, supir travel antar kota - propinsi |
Ketep pass yang masih sepi di pagi hari |
*
Dalam setiap perjalanan, ada satu orang yang paling bodoh. Saya dan teman saya yang lain memang bodoh karena melakukan perjalanan tanpa persiapan apa pun. Namun, selalu ada yang paling bodoh di antara kita semua.
Bagian akhir dari cerita ini telah saya lampirkan di bagian awal. Di sini saya akan menceritakan detil kejadian yang sesungguhnya dengan beberapa foto dan video.
‘Gus, gue mau ambil duit di ATM
mandiri,’ kata Ichan sambil menunjuk sebuah ATM yang berada di dalam Polda DIY
(jalan lingkar utara, dekat dengan kantor Ichan).
‘Lewat mana?’ tanya Bagus.
‘Ini, masuk aja,’ Ichan menunjuk
pintu masuk Polda DIY.
Sesampainya di pintu masuk Polda
DIY, tampak banyak sekali polisi masih melakukan apel pagi. Bagus menghentikan
mobil, berusaha mundur dan keluar dari kantor Polda. Sayangnya, di belakang
sudah ada mobil menanti, mau tidak mau kami harus masuk dan menunggu apel
selesai.
‘ICHAN!’ saya, Yudish dan Bagus
menggeram bersama.
Penutup hari dan trip yang sangat
sempurnya, berada 30 menit di kantor polisi dengan mobil modif yang memiliki
knalpot bersuara gahar. Dengan kejadian ini, Ichan terpilih menjadi dumbest di
antara kami.
Masuk ke kantor polisi |
Ichan dengan santai masih utak-atik HP |
Terpaksa berhenti karena di depan ada bus polisi dan apel pagi |
Tidak bisa mundur karena ada apel pagi juga di belakang |
Si bodoh yang masih tersenyum santai di depan ATM |
Terima kasih bapak/ibu polda DIY yang baik hati telah membiarkan kami lewat |
Perjalanan adalah pengalaman,
dari pengalaman kita mendapatkan pelajaran dan cerita. Saya benar-benar
memahami arti dari kata-kata itu saat menempuh perjalanan bersama ketiga teman
saya. Setelah ini, kami berempat merencanakan trip secara impulsif lagi lain kali. Bisa sebulan sekali, atau bahkan seminggu sekali. Kami juga berencana lebih banyak menggunakan foto Instagram dan video di Youtube, ketimbang tulisan di blog.
Nantikan kami di kota-kota kalian, ya!
Nantikan kami di kota-kota kalian, ya!
No comments:
Post a Comment