Thursday, September 10, 2015

Kembali Padanya



‘Rizal, kau di mana? Bisa jemput aku di bar?’

‘Kau mabuk, Van?’

‘Tidak, aku tidak mabuk, tapi sekarang aku butuh kau.’

‘Aku ke sana sekarang.’

*
taken from google.com

Baru saja Vania menelepon saya dengan suara yang ceria, seperti Vania yang saya kenal. Namun kali ini saya merasakan getir dan kesedihan mendalam terjadi padanya. Delapan tahun bukan waktu yang sebentar untuk kami saling mengenal. Kebiasaan dan perubahan kecilnya pun saya sangat hapal. 

Saya menekan gas mobil dengan kuat tanpa peduli dengan diri saya sendiri menuju bar dimana ia berada, karena setahu saya, Vania bukan wanita yang suka mabuk

*


Seperti yang saya duga, ia baru saja selesai menangis.  Saya melihat matanya masih sembab dan memerah, aroma alkohol pun tercium walaupun jarak kami berhadapan sekitar tiga meter. Ia masih berdiri terpaku di depan pintu keluar bar tanpa berkata sepatah katapun sejak saya datang lima menit yang lalu dan saya pun masih tetap menunggunya berbicara.

Vania yang sedang berdiri di hadapan saya seperti bukan dirinya yang saya kenal, tubuhnya semakin kurus, banyak hal terjadi yang tidak ia katakan pada saya selama satu bulan. Ya, satu bulan ini kami tidak pernah berjumpa.

‘Zal,’ Vania memecah keheningan di antara kami. Ia menatap saya dengan matanya yang sembab, lalu tersenyum. Itu senyum yang paling ia paksakan sejak saya mengenalnya.

‘Aku rela membuang seluruh hidupku, asalkan aku bisa terus bersamanya,’ Vania melangkahkan kakinya ke arah saya, lalu memeluk saya dengan erat. Isakan mulai terdengar dan dalam hitungan detik air matanya membasahi pundak saya. Kini saya mengerti apa yang sedang membuatnya begitu berantakan seperti sekarang, 'patah hati,' kata saya dalam hati.

‘Apakah nama lain dari cinta adalah sakit?’ ia bertanya, saya terdiam.

taken from google.com

*

‘Bagaimana keadaanmu sekarang?’ tanyaku sambil menyerahkan sekantong roti yang saya beli sebelum tiba di apartment Vania. Sudah lima hari saya selalu datang ke apartment-nya, hanya untuk menangkannya. Bahkan, saya berusaha datang dua kali dalam sehari, saat berangkat dan sepulang kerja.

‘Sudah baikan?’ tambah saya.

‘Sudah, lumayan. Terima kasih, ya, Zal,’

’Jangan terlalu dipikirkan, aku yakin kamu bisa kembali ceria tanpanya. Kalau ada apa-apa, kau bisa telepon aku.’

‘Ya, tentu. Aku tahu, kau sahabatku yang selalu bisa kuandalkan dan ada untukku,’

‘Kalau begitu, aku pulang dulu. Sudah malam, kau beristirahatlah.’

*


taken from google.com

Senyum dan tawanya kembali, ini Vania yang saya kenal. Dua bulan waktu yang ia butuhkan untuk kembali ceria seperti biasa. Saat ini, kami berdua sedang duduk bersama di sebuah kafe, Vania mengajak saya berjumpa untuk memberitahukan hal yang penting.

‘Jadi, apa hal penting yang ingin kau katakan?’

‘Aku kembali.’

‘Kembali? Ya, kupikir kau memang sudah kembali menjadi Vania yang dulu kukenal, Vania yang ceria dan kup…’

‘Bukan!’ Vania memotong kalimat saya, ‘Bukan kembali seperti itu,’ tegasnya.

‘Lantas?’ saya mengerenyitkan dahi sambil menyeruput secangkir kopi di tangak kanan saya.

‘Aku kembali padanya,’ Vania menyeruput kopinya dengan senyum mengembang dan cangkir saya pecah,  jatuh ke lantai.

*

‘Ada kata-kata yang tak dapat kuucapkan padamu dan sampai kapan pun hanya kusimpan di dalam hati, "aku cinta kau." Ada orang yang tak mampu kau miliki, walaupun kau sangat mencintainya. Lihatlah aku, selalu di sampingmu, namun aku tak dapat memilikimu.’

taken from google.com


For you, the one I can’t have.

2 comments:

  1. mantab ceritanya, sedikit tapi ngena, mungkin karena kalilmat terakhir yang ini kali ya.

    Ada orang yang tak mampu kau miliki, walaupun kau sangat mencintainya. Lihatlah aku, selalu di sampingmu, namun aku tak dapat memilikimu.’

    ReplyDelete