‘Rizal, kau di
mana? Bisa jemput aku di bar?’
‘Kau mabuk, Van?’
‘Kau mabuk, Van?’
‘Tidak, aku
tidak mabuk, tapi sekarang aku butuh kau.’
‘Aku ke sana sekarang.’
*
taken from google.com |
Baru saja Vania
menelepon saya dengan suara yang ceria, seperti Vania yang saya kenal. Namun kali ini saya merasakan getir dan kesedihan mendalam terjadi
padanya. Delapan tahun bukan
waktu yang sebentar untuk kami saling mengenal. Kebiasaan dan perubahan
kecilnya pun saya sangat hapal.
Saya menekan gas mobil dengan kuat tanpa peduli dengan diri saya sendiri menuju bar dimana ia berada, karena setahu saya, Vania bukan
wanita yang suka mabuk
*
Seperti yang
saya duga, ia baru saja selesai menangis. Saya
melihat matanya masih sembab dan memerah, aroma alkohol pun tercium walaupun jarak kami berhadapan sekitar tiga meter. Ia masih berdiri terpaku di depan
pintu keluar bar tanpa berkata sepatah katapun sejak saya datang lima menit
yang lalu dan saya pun masih tetap menunggunya berbicara.
Vania yang
sedang berdiri di hadapan saya seperti bukan dirinya yang saya kenal, tubuhnya
semakin kurus, banyak hal terjadi yang tidak ia katakan pada saya
selama satu bulan. Ya, satu bulan ini kami tidak pernah berjumpa.
‘Zal,’ Vania
memecah keheningan di antara kami. Ia menatap saya dengan matanya yang sembab,
lalu tersenyum. Itu senyum yang paling ia paksakan sejak saya mengenalnya.
‘Aku rela
membuang seluruh hidupku, asalkan aku bisa terus bersamanya,’ Vania
melangkahkan kakinya ke arah saya, lalu memeluk saya dengan erat. Isakan mulai
terdengar dan dalam hitungan detik air matanya membasahi pundak saya. Kini saya
mengerti apa yang sedang membuatnya begitu berantakan seperti sekarang, 'patah
hati,' kata saya dalam hati.
‘Apakah
nama lain dari cinta adalah sakit?’ ia bertanya, saya terdiam.
taken from google.com |
*
‘Bagaimana
keadaanmu sekarang?’ tanyaku sambil menyerahkan sekantong roti yang saya beli
sebelum tiba di apartment Vania. Sudah lima hari saya selalu datang ke
apartment-nya, hanya untuk menangkannya. Bahkan, saya berusaha datang dua kali
dalam sehari, saat berangkat dan sepulang kerja.
‘Sudah baikan?’
tambah saya.
‘Sudah, lumayan.
Terima kasih, ya, Zal,’
’Jangan terlalu
dipikirkan, aku yakin kamu bisa kembali ceria tanpanya. Kalau ada apa-apa, kau bisa telepon aku.’
‘Ya, tentu. Aku
tahu, kau sahabatku yang selalu bisa kuandalkan dan ada untukku,’
‘Kalau begitu,
aku pulang dulu. Sudah malam, kau beristirahatlah.’
*
Senyum dan
tawanya kembali, ini Vania yang saya kenal. Dua bulan waktu yang ia butuhkan
untuk kembali ceria seperti biasa. Saat ini, kami berdua sedang duduk
bersama di sebuah kafe, Vania mengajak saya berjumpa untuk memberitahukan hal
yang penting.
‘Jadi, apa hal
penting yang ingin kau katakan?’
‘Aku kembali.’
‘Kembali? Ya,
kupikir kau memang sudah kembali menjadi Vania yang dulu kukenal, Vania yang
ceria dan kup…’
‘Bukan!’ Vania
memotong kalimat saya, ‘Bukan kembali seperti itu,’ tegasnya.
‘Lantas?’ saya
mengerenyitkan dahi sambil menyeruput secangkir kopi di tangak kanan saya.
‘Aku kembali
padanya,’ Vania menyeruput kopinya dengan senyum mengembang dan cangkir saya
pecah, jatuh ke lantai.
*
‘Ada kata-kata yang tak dapat kuucapkan padamu dan
sampai kapan pun hanya kusimpan di dalam hati, "aku cinta kau." Ada orang yang tak
mampu kau miliki, walaupun kau sangat mencintainya. Lihatlah aku, selalu di
sampingmu, namun aku tak dapat memilikimu.’
For
you, the one I can’t have.
mantab ceritanya, sedikit tapi ngena, mungkin karena kalilmat terakhir yang ini kali ya.
ReplyDeleteAda orang yang tak mampu kau miliki, walaupun kau sangat mencintainya. Lihatlah aku, selalu di sampingmu, namun aku tak dapat memilikimu.’
mantap dah
ReplyDelete