Thursday, November 10, 2016

Menikmati Secangkir Kopi

image from google.com



Tidak memiliki pasangan mungkin bukan masalah untuk beberapa orang, toh saya lihat, banyak orang yang mampu bersembunyi dalam topeng tawa. Mereka terbiasa menyembunyikan kesedihan, tanpa melibatkan orang-orang di sekitarnya. Mereka mampu menikmati kehidupannya dan berbagi dengan teman-teman.


Di sisi lain, saya paham kalau beberapa orang butuh perhatian dan kasih sayang – yang entah mengapa – mereka sangat ingin dapatkan dari seorang kekasih hati. Sehingga, mereka selalu merasa ada yang kurang saat tidak memiliki pasangan.


Di dalam kehidupan ini kita harus menyadari bahwa dalam tiap permintaan, selalu ada risiko yang menanti. Jika kau meminta kemarau, maka beberapa tumbuhan akan mati kekeringan. Saat kau memohon hujan, jangan takut akan lumpur dan banjir yang menerjang. Begitu juga saat kau meminta pasangan, maka kau harus bersiap untuk patah hati yang dirasakan.


Banyak yang mematikan rasa dan menutup rapat-rapat hatinya karena takut terjatuh, padahal membuka kesempatan baru adalah cara terbaik untuk melupakan.


Begitupun pada mereka yang memilih bertahan walau disakiti, dengan alasan enggan dan lelah untuk memulai.


Saya pikir, kita memang makhluk yang cukup rumit untuk dipahami. Namun yang pasti, saat kau tidak memiliki pasangan, itu bukan akhir untuk kehidupanmu. Begitu juga saat kau ditinggalkan.


Ada banyak cara untuk menikmati secangkir kopi. Kita dapat mencampurnya dengan krim, menambahkan gula, susu, dengan air hangat, maupun es batu. Ampasnya dapat kita gunakan untuk melukis rokok kretek atau bahkan untuk menghukum seseorang yang kalah dalam permainan kartu. Begitu juga dengan menikmati kehidupan, banyak hal yang dapat kita lakukan.


Kau harus mengerti bahwa ketiadaan seseorang di sisi dan kata perpisahan bukan akhir dari kehidupan.




Yogyakarta, 10 November 2016

Thursday, February 11, 2016

...dan Vice Versa

Selamat pagi, hari kamis.

Saya menyapa seperti orang yang kaku, toh memang begitu keadaannya. Saya kembali menjalani hidup seperti dulu. Bangun pagi—kerja—pulang—tidur, berulang seperti itu sampai akhirnya saya sempat menemukanmu, dulu.

Sayangnya, terselip kata sempat.

Saya hanya meratapi doa-doa yang tak dikabulkan-Nya, doa-doa agar kau adalah tepat. Saya tidak ingin kau hanya menjadi persinggahan, tapi menetap. Namun, saya hanya mendapat tamparan telak dan kuat.

***

Saya menatap layar komputer di ruang kerja dengan kebingungan, seolah daya pikir saya menghilang selama 2 hari penuh hujan. 2 hari tanpa senyuman. 2 hari tanpa aroma tubuhmu yang memabukan.

Saya tersadar, membencimu hanya menghadirkan pedih pada hati kita. Kita sering menghiraukan, bahwa memaafkan diri sendiri lebih penting dari sekadar meminta maaf atau memaafkan orang lain. Di sini saya berjuang memaafkan diri sendiri karena sempat mengutukmu di dalam doa & membunuhmu dalam perasaan.

***

Saya berjumpa dengan seorang bijak, ia berkata: "Perbuatan baikmu sekarang, akan berbalas dengan hal baik suatu saat nanti. Siapa yang menabur, ia yang menuai."

Saya meng-aamiin-kan kalimatnya, sekaligus menambahkan, "...dan vice versa" di belakangnya.

Wednesday, February 10, 2016

Dongeng Peri Baik Hati

Saya diberitahu seorang bijak bahwa hidup, rejeki, cinta dan matiku sudah tertulis dalam buku yang Tuhan siapkan bahkan sebelum lahirku.

Apa kau tertulis untuk menjadi akhir perjalanan dalam buku yang orang percaya dan menyebutnya sebagai takdir?

Jika benar takdir adalah kehendak Tuhan, apa inginku tak mampu dipaksakan? Walaupun dengan kuatnya saya berusaha dan berdoa?

Saya mendengar peri-peri baik hati, menceritakan kisahmu yang mendoakan kita pada tiap sadar, bahkan lelapmu.

Dan saya sadar, peri-peri itu hanya memberi dongeng belaka. Karena realita memakanmu, hidup menelanku.

Kita hanya manusia biasa, tak super pula. Sama takut dengan berbagai kenyataan yang menanti di muka.

Kita hentikan saja semua, karena usaha yang sudah saya lakukan, tak pernah mendapat jawaban yang sama darimu.

Dan rasaku, pelan-pelan kau bunuh dalam beku.

Tuesday, February 9, 2016

Tiga

Suatu pagi, saya memandangi wajahmu.
Saya tidak bermimpi, dalam bahagia saya lafalkan sebuah nama dalam doa sepertiga malamku.
Namamu.

Di siang hari, saya memeras keringat demi masa depanku. Pun mimpimu.
Saya mengisi hari, bersujud pada-Nya siang dan petang sambil menyelipkan namamu. Lagi-lagi kamu.

Malam hari, tanpa mengeluhkan lelahku. Waktu saya bagi padamu.
Kau menggenggam tanganku erat dan berkata, "saya mencintaimu." Pun saya, mencintaimu lebih dari yang kau mau.

Suatu hari, kau hempaskan rasaku. Kau meminta ampunan padaku. Saya meminta ampunan pada-Nya. Karena, saya pernah memohon, jika suatu hari kita tidak mampu bersama, lebih baik Ia membawaku pulang dan menghentikan napasku. Lagi-lagi aku.

Demi tawa dan bahagia kita yang satu. Saya bertahan dalam suatu hari yang biasa. Seolah tidak ada isak tangis dan menjalani semua dengan senyum tanpa paksa. Saya memohon pada-Nya, jangan (lagi) mati rasa.