taken from google.com |
"Nak,
sudahlah. Tidak perlu memaksakan diri. Kamu beli saja apa yang kamu mau, tidak
perlu memikirkan apa yang terjadi.", ucap ayahku yang sedang menyapu teras
rumah dengan kaos warna putih buluk kesayangannya. Aku duduk di atas kursi
bambu yang lapuk, tepat di belakangnya sambil menyaksikan ia yang sibuk dengan
debu-debu berterbangan itu. Rumah kami sederhana sekali, tak super pula. Hanya
memiliki satu kamar tamu, satu kamar mandi, satu kamar tidur, serta dapur yang
terlihat kumuh layaknya kandang sapi tetangga kami.
"Aku
nggak mau gini terus, Yah. Sudah cukup kita ditindas oleh saudara kita
sendiri.", kataku gusar. Benar saja, aku begitu emosinya hari itu. Bukan
karena mentari yang sangat terik di langit biru, bukan juga karena putus cinta,
ini semua karena krisis kepercayaan pada saudaraku sendri, ini semua karena
hilangnya ketulusan dari muka bumi.
"Kamu
ingin membeli handphone, kan? Ya
sudah, beli saja dengan uangmu itu. Masalah sepeda, nanti juga mereka
kembalikan.", ucapnya dengan tetap santai.
"Kata
siapa sepeda itu akan dikembalikan?", tanyaku. Ayah terdiam, sapu di tangannya
ikut berhenti mengayun seketika. Aku menunggu ia menjawab pertanyaan itu, namun
tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
"Kata
siapa?", kuulangi pertanyaanku. Satu-satunya hal yang tampak berubah hanya
tangan ayahku yang kembali mengayunkan sapunya, tetapi lagi-lagi tidak ada
sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Aku benar-benar semakin kesal.
"Ayah!
Kata siapa?!", bentakku.
"Kata
Endra tadi. Katanya, ibunya hanya ingin mengganti velg-nya saja. Nanti juga
dikembalikan lagi ke sini, tapi nggak tahu lah.", ayahku kembali menjawab
dengan nada santai yang datar itu.
"Jadi,
belum pasti, kan?", aku memicingkan mata untuk mengamati raut wajah ayahku
dalam-dalam.
"Ya,
begitulah.", jawabnya datar.
Pagi
itu, asap pembakaran sampah di dekat rumah sungguh tebal. Langit yang berwarna
biru sangat cerah juga tampak di hadapanku, hiasan awan putih pun ikut dalam
tarian angin yang harmonis. Bau-bau embun yang membasahi dedaunan sungguh
menyenangkan, sayangnya ada hal membuatku kesal.
Ayah
memang orang yang sangat datar, nyaris tanpa ekspresi di wajahnya. Entah sedih
atau bahagia, takut atau berani, khawatir atau lega, semua tidak dapat dibaca
dari wajahnya. Ia memang selalu begitu, terkesan acuh.
Dahulu,
saat aku masih kecil, ayah dan ibuku tidak punya apa-apa saat menikah.
Kehidupan keluargaku dibantu oleh saudara-saudara terdekat. Dari mulai uang
belanja, sampai baju dan tempat tinggal. Ironis, buat beberapa orang, menikah
itu butuh mapan. Aku kesal dengan kenyataan bahwa orang tuaku tidak mapan,
hasilnya adalah perpisahan ayah dan ibu di waktu aku masih sangat kecil. Itu
sungguh menusuk hatiku dalam-dalam, sampai aku sendiri tidak ingat bagaimana
kelembutan seorang ibu seumur hidupku.
Baru
beberapa hari yang lalu, sepeda pemberian budheku rusak. Aku ditabrak oleh
motor dari belakang, itu menyebabkan velg sepedaku patah di beberapa rujinya
dan rusak. Aku sudah memiliki penghasilan, walaupun masih seadanya saja. Maka
dari itu, aku ingin bertanggung jawab untuk memperbaikinya dan tidak memberi
tahu budheku.
Nasib
berkata lain, niat baik belum tentu dibalas dengan baik juga. Budheku tahu dari
saudaraku kalau sepeda itu rusak, ia marah-marah dan meminta sepeda itu
dikembalikan padanya. Padahal, aku sudah punya niat untuk memperbaikinya sedemikian
rupa. Alasan budheku mengambil sepeda itu kembali karena aku tidak
memberitahunya. Sesungguhnya, niatku hanya tidak ingin merepotkan dirinya, aku
ingin berguna dan punya tanggung jawab.
Dua
hal yang membuatku kesal: Pertama, budheku yang sungguh tidak menghargai
usahaku itu dan memaki-maki aku beserta ayahku. Kedua, saudaraku yang begitu
siriknya sampai melaporkan yang tidak-tidak pada budheku.
Aku
benar-benar tidak habis pikir, hal ini membuatku tidak percaya pada apapun
lagi. Jangankan orang lain, bahkan keluarga sendiripun sulit untuk dipercaya
dan mengulurkan tangannya dengan tulus. Bagiku kini, kepercayaan dan ketulusan
hanya sekedar dongeng-dongeng di dalam novel yang sering kubaca, atau mungkin
hanya ada di dalam film yang sering kutonton. Sayangnya, hidup bukan fiksi,
diksi, fabel, atau malah fantasi. Hidup itu kenyataan yang siap melahap kita
dalam-dalam bila lengah sekejap saja.
"Ya
sudah, aku tetap akan beli sepeda.", ucapku pada ayah. Ia hanya diam
sambil tetap menyapu teras. Kemudian, aku masuk ke dalam rumah. Aku mengambil handphone ayahku, ingin memainkan game
di dalam handphone-nya itu. Tak
sengaja aku melihat ada pesan masuk dari budheku, sebuah pesan singkat. Aku sungguh
kurang ajar, membuka pesan-pesan itu dan membacanya dengan seksama.
"Mbak nggak masalah, yang merusakkan
sepeda itu siapa? Kamu atau anakmu itu?", begitu pesan dari budheku.
"Aku, mbak.", dan begitu jawaban ayahku.
"Ya sudah, sepedanya aku ambil.
Anakku sudah jalan ke rumahmu dengan mobil untuk mengangkut sepeda itu.", begitu isi pesan budheku yang terakhir.
Sesaat
kemudian aku menunduk malu, selama ini aku menyesal punya keluarga tak mampu.
Namun, ayahku malah memberiku kekayaan berupa cinta dan kasih sayang tanpa
batas, satu-satunya yang mungkin belum aku ketahui hingga kini. Ia selalu
menutup kesalahanku dengan menggunakan dirinya sebagai tameng, seperti apa yang
kubaca saat ini. Lagi-lagi ia membersihkan namaku dari segala keburukan yang
aku lakukan.
Aku
berpikir, berapa kali ia telah menyelamatkanku dari hinaan dan permasalahan
yang sesungguhnya bermula dari diriku. Mungkin bukan kali ini saja, mungkin
juga ratusan atau ribuan kali. Dan selama ini, aku hanya memikirkan bagaimana
harga diri kami diinjak bagai keset di keluarga ini. Ketidak tahuanku membuat
diriku ini berpikir kalau ayah dan ibuku yang salah, mereka tidak siap dan
mapan saat menikah. Ternyata semua itu salah, setidaknya mereka punya cinta
yang melimpah.
Aku
sangat ingat bagaimana ibuku dulu mencuci baju sendirian sambil tersenyum dan
berkeringat, padahal ia baru saja dihina habis-habisan oleh keluargaku yang
lain. Ia diperlakukan layaknya pembantu di rumah gedongan itu, rumah kakekku
sendiri. Rumah yang dulu aku tempati saat masih kecil tentunya. Aku kini sangat
tahu kenapa ibu memilih pergi dan tidak kuat untuk bertahan, mungkin karena
keluargaku yang terlalu menekan habis-habisan dan memperlakukan dirinya untuk
disisihkan. Mungkin ia menangis, letih dan menyerah. Mungkin, saat mencuci baju
sore itu, air mata, air keringat, dan air cucian itu sudah menjadi satu, sulit
untuk dibedakan lagi.
Aku
berjalan menuju teras dan memandang ayahku yang kini memotong rumput di halaman
depan. Aku mengambil perkakas dan ikut membantu di sebelahnya sambil berkata,
"Ayah, besok aku tetap ingin beli sepeda."
"Terserah
saja.", jawabnya singkat.
"Aku
pasti bisa sukses! Aku janji akan membeli rumah dan bisa menggapai cita-cita.
Suatu hari nanti aku pasti akan mengajak ayah untuk ke luar negeri dan tinggal
bersamaku.", janjiku penuh semangat. Seperti biasa, ayah hanya tersenyum
tanpa mengucapkan sepatah kata pun padaku. Namun, diriku tahu, dibalik
dinginnya sikap ayah, ia selalu memiliki cinta dengan dekap yang menghangatkan.
"Terima kasih, Ayah. Dalam hati dan
doa aku akan selalu menyebutmu."
FIN.
Yogyakarta
Beruntunglah punya Ayah sehebat itu :')
ReplyDeleteayah sosok yang seumpama seperti tembok , mereka datar mereka tidak menunjukkan raut ekspresi, kita pun bahkan tidak penting mengindahkannya tidak seperti pintu dan jendela yang didesain seindah mungkin tapi yang kita tahu tembok akan berdiri terus disitu dan tanpanya rumah bukanlah rumah, sama seperti seorang ayah mungkin ia kaku mungkin ia dingin tapi satu yang kita tahu dia akan selalu disitu untuk menjaga dan melindungi kita baik sadar ataupun tidak sama sekali
ReplyDelete