Thursday, December 13, 2012

Gerbong #9 (NEW)

Cinta itu perjuangan, sampai kapanpun sebuah usaha dan perjuangan tidak akan menghasilkan kekecewaan. Saat kedua hati saling jatuh cinta, mereka pasti akan berusaha bersama untuk membangun sebuah hubungan. Semua tentang cinta memang belum tentu berakhir dengan indah, tapi itu lah keunikan cinta. Semua orang ingin dicintai, semua orang pasti mencintai. Cinta itu cukup membutakan mata dan logika bagi orang-orang yang merasakan. Tidak sampai di situ saja, cinta juga kadang memabukkan. Candu? Selalu saja sama, hanya cinta yang menyerupai candu. Ingin menolak, tapi hati terikat tak kuasa untuk melepaskannya.


19 Oktober 2012
Pukul 02.40

“Gerbong berapa? Cepet! Keretanya keburu berangkat.”
“Nomer 9, iya gerbong 9!”
“Aku kesana!”


Agustus 2012

“Namaku Radit, iya, Raditya Prabudi.”
“Aku Ilvie, Livie Aurora Catharina.”

Pesan singkat itu membuka perbincangan kami, perkenalan yang merubah hidupku dan perasaanku. Aku memang bukan seorang yang cukup rupawan, bukan pria yang hartawan, bahkan mungkin aku salah satu pria yang tak sempurna untuk dirinya. Tapi, Ilvie telah merubah segala cara pandanganku terhadap wanita. Dia merubah mindset yang membusuk di dalam otakku selama ini.

Bagiku, wanita cinta kemapanan dan ketampanan. Hal ini membuatku sulit untuk mendekati wanita-wanita disekitarku. Pemikiran itu telah memenjarakan hatiku di dalam kesendirian, sampai aku berkenalan dengan wanita bernama Ilvie ini. Wanita yang luar biasa di mataku.

Awalnya kami biasa saja, hanya berbicara seputar pekerjaan sampingan yang sama. Hal yang membuat pemikiranku berubah tentangnya adalah ketika dia dengan rela membantu aku dalam menyelesaikan pekerjaanku. Kebetulan aku dan dia sama-sama suka berkecimpung di dunia social media. Kebaikannya tentu tidak main-main, aku pun sampai merasa tidak enak dengan bantuannya. Hal ini disebabkan karena aku sendiri masih seorang amatir dalam social media, sedangkan dia? Masih muda tapi sudah luar biasa. Salut.

Tak perlu waktu yang cukup lama, aku  mulai jatuh cinta padanya. Kebaikan Ilvie yang luar biasa itu telah membuat hatiku tergetar. Kebaikan dan dirinya yang sederhana apa adanya itu telah membuat duniaku jungkir balik. Kehidupanku kini mulai terganggu oleh sosoknya. Dalam kegiatan apapun, aku selalu memikirkan dirinya. Uniknya, kami belum pernah bertemu sama sekali sejak perkenalan kami di awal agustus itu.

Ya, ironis memang, aku jatuh cinta pada perempuan yang sama sekali belum pernah aku temui. Ilvie tinggal di Jawa Timur, sedangkan aku ada di Jawa Tengah. Inilah cinta, datang tak dijemput, pulang tak diantar. Inilah cinta, datang tak memilih sasaran, siapapun bisa menjadi korbannya. Tapi, hal ini tidak membuatku gentar, karena aku yakin bahwa Ilvie adalah perempuan yang benar-benar aku inginkan. Cuma dia, ya, dalam pikiranku saat ini cuma dia yang mampu membuat hidupku kembali bahagia dan penuh warna.




Oktober 2012

“Sepertinya aku mulai menyayangi kamu, Vie.”
“Benarkah itu?”
“Iya.”
“Aku… aku juga.”

Jantungku nyaris copot mendengar ucapannya di telpon malam itu. Awal bulan ini seperti membuka sebuah harapan yang sangat indah untuk hubungan kami berdua. Hubungan yang selama dua bulan ini aku impi-impikan.

Tapi, masalah jarak membuat kami khawatir. Pertemuanku dengannya belum juga terjadi, hal ini yang menyebabkan kami tidak kunjung jadian. Bagaimana pun juga memang lebih baik kami ketemu, berbincang-bincang, dan mengetahui lebih jauh tentang diri kita masing-masing  sebelum benar-benar menjalani sebuah hubungan. Tentu saja semua penting dilakukan, sebuah hal yang wajar kalau kami sama-sama takut kecewa dalam masalah ini. Takut sakit setelah memilih, takut ditinggalkan setelah benar-benar mengharapkan. Cinta mengenai ketulusan, kepercayaan, dan keinginan untuk saling menjaga. Kami sama-sama berharap ini adalah kisah yang nyata, bukan sekedar maya.

Memang, yang namanya jarak dan waktu adalah hal yang cukup menyiksa. Seperti LDR, pasti memiliki berbagai tantangan karena perpisahan jarak maupun waktu. Ini sebuah ujian dimana saat raganya jauh, tapi hati dan cinta harus selalu dekat untuk saling mengikat.

“Kapan kita bertemu, Dit?”
“Secepatnya, Vie. Aku usahakan setelah semua urusanku beres disini.”
“Aku menunggumu datang, sayang.”

Aku tersenyum penuh arti, hatiku dipenuhi kebahagiaan yang belum pernah ku rasakan sebelumnya. Jatuh cinta pada orang yang tepat dan cintanya disambut oleh orang yang tepat juga. Tidak ada yang bisa menandingi kebahagiaanku saat ini.


16 Oktober 2012

“Dit, ada hal penting yang aku harus omongin.”
“Ngomong aja, Vie.”
Malam itu kami berjumpa dalam sebuah deringan telpon seluler. Membicarakan satu hal yang sama sekali tidak ku sangka-sangka selama ini. Mungkin lebih tepatnya, ini berita yang amat sangat mengejutkan untukku.
“Sepertinya kita nggak mungkin ketemu, Dit.”, ucapnya lesu.
“Hah?! Kenapa?! Ada yang salah denganku?!”, aku benar-benar terkejut mendengar kata-kata Ilvie.
“Enggak, bukan kamu, Dit. Aku harus kembali ke Jeddah besok lusa, orang tuaku sudah meminta untuk kembali kesana.”
“Secepat ini?”
“Iya.”
“Bagaimana dengan hubungan kita, Vie?”
“…”

Aku hanya mendengar tangisan lirih Ilvie setelah keheningan itu. Dia tak mampu menjawab, sama sepertiku yang panik dan sangat sulit berpikir dengan logis.

Ilvie dan keluarganya memang sudah sejak lama tinggal di Arab, mereka memiliki usaha travel disana. Aku tau suatu saat hal ini akan terjadi, tapi aku tak menyangka harus secepat ini. selama ini tidak terdengar kabar bahwa dia akan kembali ke Jeddah sebelum akhir tahun, nyatanya hari itu datang juga. Lebih cepat dari yang aku bayangkan.

Kami hanya bisa bersedih terpisah jarak. Kami tersiksa karena hubungan yang tak kunjung jelas. Sekuat apapun aku menahan sakit, sekuat itu juga rasa cintaku untuknya.


17 Oktober 2012

“Jadi, besok sore kamu ke Jakarta naik kereta?”
“Iya, Dit. Aku harus kembali ke Jeddah. Ini juga demi saudaraku, aku nggak mungkin meninggalkannya sendiri disana. Walaupun…”
“Walaupun apa, Vie?”
“Walaupun aku ingin sekali bertemu kamu, bertemu untuk sekali saja demi kejelasan hubungan kita.”
“Kamu benar, aku juga memikirkan hal yang sama.”

Aku mendengus pelan sebagai tanda keluhan, mengeluh dengan keadaan kami yang semakin terpojokkan dan dikejar waktu. Seolah kami berdua sedang dihadapkan oleh jalan terjal dan menemui jurang. Aku dan Ivie kehabisan kata-kata di telpon, hanya terdiam dan kebingungan.
Sebenarnya tidak masalah dia pergi, yang menjadi masalah adalah kejelasan hubungan kami. Paling tidak kami butuh bertatap muka 5 sampai 10 menit. Paling tidak kami bisa berbicara secara langsung. Karena itu aku benar-benar tidak tau lagi harus bagaimana. Di satu sisi aku ingin berjumpa dengannya, di sisi lain aku memiliki tanggung jawab di kampus dan orang tuaku sendiri.

"Gimana ya? Aku pingin ketemu kamu banget, Dit", suara Ilvie menunjukkan kekecewaan yang mendalam.
"Aku juga nggak tau, Vie. Kamu bakal pergi secepat ini", jawabku seadanya.
"Kita beneran gak bisa ketemu ya, Dit? Sayang banget"
"Iya, Vie. Sayang banget. Tapi, aku bakal nunggu kamu kok. Hatiku udah mentok di kamu. Sampai kamu kembali ke Indonesia, aku bakal nunggu kamu dan tetap sayang sama kamu. Semoga nanti saat kamu kembali, kamu masih punya keinginan dan rasa yang sama seperti aku", aku mencoba untuk meyakinkan Ilvie.
"Ya, amin. Semoga saja Dit. Aku juga nggak tau harus gimana lagi", suara Ilvie terdengar seperti menahan tangis kesedihan. Aku tau dia tak ingin meninggalkan Indonesia secepat ini, aku tau dia ingin bertemu denganku sebelum berangkat. Tapi, memang kebaikannya dan kepedulian yang besar terhadap saudara serta orang tuanya adalah sisi yang mau tak mau harus dituruti.
"Sering-sering kirim voice note ya, Vie?", kataku
"Semoga ya, Dit", dan terdengar tangisan dari telpon itu. Akhirnya Ilvie menangis terisak-isak penuh kekecewaan.

Aku sedih, ingin rasanya memeluk dirinya. Tapi, aku tak pernah ada di sampingnya. Ingin rasanya mengusap air mata dan membelai kepalanya untuk menenagkan hatinya, sayang aku yang saat ini belum mampu untuk melakukannya. Aku hanya bisa pasrah dengan keadaan yang ada. Aku tidak ingin menyalahkan keadaan ini walaupun berat, buat aku semua kejadian selalu ada hikmahnya. Buatku sendiri, hidup bukan sebuah kebetulan. Walaupun bagi manusia ada istilah kebetulan seperti pertemuanku dengan Ilvie, tapi aku yakin Tuhan sudah menulis takdir ini jauh sebelum kami berdua lahir ke dunia.

 
18 Oktober 2012

Setelah tangisan kemarin malam, pikiranku semakin kacau. Semua kegiatan terasa menjemuhkan, yang ada di dalam otak hanya Ilvie seorang. Aku mungkin sudah gagal memperjuangkan cintaku padanya saat itu, merasa gagal karena tidak mampu mengejar kebahagiaan yang selama ini kami impikan. Takdir telah memutuskan apa yang harus kami hadapi, sekarang semua terlambat saat Ilvie akan pergi dalam waktu yang cukup lama.

Hari ini menjadi hari keberangkatan Ilvie ke Jakarta dengan keretanya. Besok dia sudah tiba dan siap terbang menuju Jeddah untuk waktu yang lama. Sementara hubungan kami sama sekali belum ada kejelasan. Hal ini diperparah dengan sikap Ilvie yang banyak diam, tidak seperti Ilvie yang aku kenal. Mungkin kekecewaannya sangat besar, sehingga kebahagiaan dan keceriaannya pun tak mampu kembali hari ini.
Siang harinya dering telponku berbunyi, Ilvie menghubungiku setelah setengah hari ini tak ada kabar dan berita.

“Dit, kamu sekarang di Semarang, kan?”, tiba-tiba Ilvie bertanya.
“Iya, aku memang di Semarang, Vie. Kenapa?”, tanyaku kebingungan.
“Kita bisa ketemu, kita harus ketemu!”
“Hah?! Dimana?!”, aku semakin kebingungan dengan kata-kata yang diucapkan Ilvie.
“Stasiun! Kita pasti bisa ketemu, Dit! Kamu mau kan?”
“Hah?! Kamu berhenti di stasiun Semarang?!”
“Iya! Semarang Poncol! Oke?”
“I-iya, oke! Kabari aku ya?”
“Iya pasti, sayang. Tunggu kabarku.”

Berita yang sangat mengejutkan dari Ilvie siang itu, lebih tepatnya mungkin gila. Ya, gila karena ide spontan ini jarang sekali terpikirkan oleh kebanyakan orang. Hanya demi sebuah ikatan, kepastian dan perasaan orang rela untuk berkorban. Hanya demi cinta, orang rela untuk berlari dan terus berlari mengejarnya. Hanya demi cinta, orang rela untuk menunggu walaupun kadang tak ada yang pasti. Sekarang ini kami sedang berjuang melawan takdir, memberi waktu untuk cinta kami berdua. Memberi kesempatan untuk hati semakin yakin dan bicara. Sebuah kepastian dan pertemuan yang kami tunggu-tunggu sedang diperjuangkan mati-matian, olehku dan Ilvie.

***

Satu jam kemudian Ilvie berangkat menggunakan kereta ekonomi AC Matarmaja dari stasiun Malang kota menuju Jakarta Pasar Senen. Setelah mendapat kejelasan kereta Ilvie, aku lalu mulai mencari di internet tempat singgah dan jam-jam singgah kereta tersebut. Teknologi memang membantu sekali, aku mendapatkan jadwalnya beserta stasiun kedatangannya. Awalnya aku cukup bingung dengan stasiun tempat tiba kereta itu, karena Ilvie mengatakan Poncol namun di internet kereta itu berhenti di Tawang. Tapi, setelah aku menelpon stasiun Tawang, petugas mengatakan kalau Matarmaja hanya berhenti di stasiun Poncol. Cukup lega, tapi belum lega kalau aku dan Ilvie sampai gagal bertemu nantinya.

Aku meminta Ilvie untuk memberitahu stasiun-stasiun tempat dia berhenti selama perjalanan, sambil aku mengawasi jam. Aku mengakumulasi keterlambatan keretanya dan menghitung perkiraan dia tiba di stasiun Semarang Poncol. Selain itu, aku juga meminta Ilvie memberi kabar bila sudah tiba di stasiun Telawa. Hal ini menyebabkan Ilvie tidak mungkin tidur sepanjang perjalanan, karena dia harus memperhatikan stasiun yang dia singgahi terus menerus. Aku pun menunggu kabar darinya.

 
19 Oktober 2012

Ilvie tiba di stasiun Telawa pukul 01.00, aku memiliki waktu sekitar satu setengah jam lagi untuk sampai ke stasiun Semarang Poncol. Tanpa basa-basi aku berangkat menuju stasiun yang cukup jauh dari tempat tinggalku tersebut. Aku menancap gas mobil sampai ke batas maksimal kecepatan, aku takut terlambat sampai stasiun. Sepanjang perjalanan aku berdoa agar usaha kami ini tidak sia-sia, aku berdoa agar kami benar-benar bertemu untuk pertama kalinya.

Sesampainya di stasiun, aku melihat jam telah menunjukkan pukul 02.30. Ternyata aku tiba tepat waktu, petugas pintu masuk stasiun mengatakan bahwa kereta yang Matarmaja baru akan masuk. Aku pun memasuki stasiun dan menyeberangi rel kereta menuju jalur 2, tempat kereta itu masuk. Aku melihat keretanya melaju di hadapanku, kereta itu lalu berhenti. Tanpa pikir panjang aku memberitahu Ilvie bahwa aku sudah ada di sebelah keretanya.

“Gerbong berapa? Cepet! Keretanya keburu berangkat.”
“Nomer 9, iya gerbong 9!”
“Aku kesana!”

Sialnya, letak gerbong 9 ada di paling belakang. Aku sendiri berdiri di gerbong paling depan. Dengan sekuat tenaga aku berlari kencang, sudah tak ada lagi rasa kantuk dan lelah yang terpikirkan, hanya terbayang keinginan untuk perjumpaan dan kepastian.

Aku yang terengah-engah sehabis berlari sepanjang kereta pun menunggu sosok perempuan impianku. Sosok perempuan yang selama ini aku cintai namun belum pernah aku lihat sama sekali. Aku menunggu sambil mengkhawatirkan kereta yang bisa saja berangkat sewaktu-waktu. Aku melihat handphone ku, dan aku menunggu jawaban Ilvie yang tak kunjung keluar.

“Grek!!!”

Suara itu mengejutkanku yang sedang serius melihat handphone. Aku menengadahkan kepala sambil melihat ke hadapanku. Cahaya lampu gerbong yang sedari tadi menyinariku tertutup oleh bayangan siluet wanita. Aku memicingkan mata melihat ke arah wanita yang berdiri tepat di hadapanku itu. Aku akhirnya menyadari, bahwa itu Ilvie. Perempuan impianku sekarang benar-benar ada di hadapanku. Perempuan yang aku cinta sekarang ada di hadapanku.

Jantungku berhenti sesaat. Tidak kusangkan sosok Ilvie yang terlihat cantik di foto, ternyata jauh lebih cantik aslinya. Aku benar-benar terpesona dan terpaku beberapa detik karena kecantikannya. Aku benar-benar speechless dengan lukisan ciptaan Tuhan yang satu ini. Benar-benar indah bersinar, beda dengan perempuan cantik dan manis yang selama ini aku temui maupun aku pacari. Ilvie menunduk dengan senyumnya yang mengembang, dia menatapku. Menatapku dengan tatapan yang penuh kelegaan, sama sepertiku yang juga lega dapat melihatnya.

Tanpa pikir panjang, aku menyerahkan jaket yang aku bawa dari rumah untuknya. Ya, aku tau dia kedinginan di kereta dan butuh jaket ini. Lalu, aku merogoh kantong celanaku, dan aku mengambil fotoku yang sudah aku siapkan. Foto yang sengaja aku bawa untuk diberikan padanya. Lalu, akupun mengangkat tanganku ke arahnya. Ilvie sedikit menunduk dan menjulurkan tangannya padaku. Kami sudah tidak peduli lagi dengan orang-orang yang ada di pembatas gerbong yang sedari tadi melihat kami berdua. Kami saling bergenggaman tangan, cukup lama padahal aku hanya ingin menyerahkan foto. Kami berdua saling menggenggam tangan seolah tak ingin terlepas. Kami menarik tangan pelan-pelan seolah belum rela untuk terpisah.

Akhirnya karena kondisi yang lumayan berisik yang menyebabkan kami tidak bisa mendengar suara masing-masing, aku memutuskan untuk mengatakan sesuatu pada Ilvie lewat bbm. Aku memberi isyarat untuk melihat bbm nya, aku memberi isyarat agar dia juga mengenakan jaket yang aku berikan. Lalu, aku menyuruhnya untuk duduk ke bangkunya lagi. Karena kondisi yang sangat tidak kondusif ini, aku dan dia tak mampu ada di satu pijakan yang sama. Aku tak mampu masuk ke dalam kereta, dia pun tak mampu turun dari kereta. Ilvie pun duduk di bangkunya lagi, sedangkan aku menyebrang ke arah jalur satu untuk menunggu kereta Ilvie lewat, pergi meninggalkan stasiun.

“Jadi, kamu mau jadi pacarku? :D”

Aku memang ingin menembaknya tadi, tapi karena bising dan tidak kondusif, akupun harus mengatakan lewat bbm. Tidak beberapa lama, Ilvie membalas.

“Emmm... Mau gak ya?”

Aku mulai takut, takut dia menolakku. Kemudian dia mengirim bbm lagi kepadaku.

Kamu lucu ya ternyata. :3
Iya, aku mau jadi pacar kamu. :3”

Seketika jantungku seperti meledak. Rasa senang, bahagia, semuanya bercampur aduk. Ilvie yang selama ini aku impikan akhirnya menjadi pacarku. Konyol memang, aku menembaknya melalui bbm. Tapi keadaan memang memaksaku untuk melakukannya, setidaknya kami sudah bertemu dan sekarang waktunya kami untuk memutuskan hubungan kami akan seperti apa.

“Serius? :o”

Aku masih tidak percaya, ya, aku belum yakin dengan jawaban Ilvie.

“Ciyus, aku mau :3”

Jawaban Ilvie membuatku bahagia dan merasa lega. Aku pun tersenyum puas dengan usaha yang telah kami lakukan. Walaupun kami hanya mampu bertatap muka selama 5 menit, tapi itu cukup membuat kami tau sama tau. Walaupun kami hanya bertatap muka selama 5 menit, tapi waktu itu cukup menyalurkan perasaan kami berdua.

Kereta Ilvie pun mulai bergerak maju meninggalkan stasiun. Akhirnya gerbong nomor 9 pun lewat, terlihat Ilvie mengenakan jaket yang aku berikan sambil bersandar pada jendela memandangiku. Dia tersenyum sangat manis dan melambaikan tangannya padaku. Aku membalas lambaian tangannya dengan tersenyum. 
Aku melihat kereta itu sampai menghilang dari pandangan.

Aku pun melangkah keluar dari stasiun dengan puas. Aku sedih dia pergi cukup lama, tapi ini bukan saatnya menangis, karena cerita kami berdua baru di mulai. Ini bukan perpisahan dan akhir segalanya, ini justru pembuka dari bab baru yang ada di kehidupan kami. Bab baru yang akan menceritakan tentang perjalanan cinta kami.

Aku puas dengan apa yang telah terjadi. Aku bisa bertemu dengannya. Benar, kalau saling mencintai, keduanya akan berusaha, bukan hanya satu orang saja. Ilvie telah berusaha, aku pun telah berusaha juga. Kami berdua berhasil mewujudkan keinginan kami dengan usaha bersama. Ya, cinta itu luar biasa, asalkan keduanya berusaha, pasti ada jalan keluar. Hari ini kami berdua berhasil membuktikannya di gerbong kereta nomor 9.
*****

1 comment:

  1. http://mesinatm-24jam.com/?id=erwinska

    ReplyDelete