Cinta itu perjuangan, sampai
kapanpun sebuah usaha dan perjuangan tidak akan menghasilkan kekecewaan. Saat
kedua hati saling jatuh cinta, mereka pasti akan berusaha bersama untuk
membangun sebuah hubungan. Semua tentang cinta memang belum tentu berakhir
dengan indah, tapi itu lah keunikan cinta. Semua orang ingin dicintai, semua
orang pasti mencintai. Cinta itu cukup membutakan mata dan logika bagi
orang-orang yang merasakan. Tidak sampai di situ saja, cinta juga kadang
memabukkan. Candu? Selalu saja sama, hanya cinta yang menyerupai candu. Ingin
menolak, tapi hati terikat tak kuasa untuk melepaskannya.
19 Oktober 2012
Pukul 02.40
“Gerbong berapa? Cepet! Keretanya
keburu berangkat.”
“Nomer 9, iya gerbong 9!”
“Aku kesana!”
Agustus 2012
“Namaku Radit, iya, Raditya
Prabudi.”
“Aku Ilvie, Livie Aurora
Catharina.”
Pesan singkat itu membuka
perbincangan kami, perkenalan yang merubah hidupku dan perasaanku. Aku memang
bukan seorang yang cukup rupawan, bukan pria yang hartawan, bahkan mungkin aku
salah satu pria yang tak sempurna untuk dirinya. Tapi, Ilvie telah merubah
segala cara pandanganku terhadap wanita. Dia merubah mindset yang membusuk di dalam otakku selama ini.
Bagiku, wanita cinta kemapanan
dan ketampanan. Hal ini membuatku sulit untuk mendekati wanita-wanita
disekitarku. Pemikiran itu telah memenjarakan hatiku di dalam kesendirian,
sampai aku berkenalan dengan wanita bernama Ilvie ini. Wanita yang luar biasa
di mataku.
Awalnya kami biasa saja,
hanya berbicara seputar pekerjaan sampingan yang sama. Hal yang membuat
pemikiranku berubah tentangnya adalah ketika dia dengan rela membantu aku dalam
menyelesaikan pekerjaanku. Kebetulan aku dan dia sama-sama suka berkecimpung di
dunia social media. Kebaikannya tentu
tidak main-main, aku pun sampai merasa tidak enak dengan bantuannya. Hal ini
disebabkan karena aku sendiri masih seorang amatir dalam social media, sedangkan dia? Masih muda tapi sudah luar biasa. Salut.
Tak perlu waktu yang cukup
lama, aku mulai jatuh cinta padanya.
Kebaikan Ilvie yang luar biasa itu telah membuat hatiku tergetar. Kebaikan dan
dirinya yang sederhana apa adanya itu telah membuat duniaku jungkir balik.
Kehidupanku kini mulai terganggu oleh sosoknya. Dalam kegiatan apapun, aku
selalu memikirkan dirinya. Uniknya, kami belum pernah bertemu sama sekali sejak
perkenalan kami di awal agustus itu.
Ya, ironis memang, aku
jatuh cinta pada perempuan yang sama sekali belum pernah aku temui. Ilvie
tinggal di Jawa Timur, sedangkan aku ada di Jawa Tengah. Inilah cinta, datang
tak dijemput, pulang tak diantar. Inilah cinta, datang tak memilih sasaran,
siapapun bisa menjadi korbannya. Tapi, hal ini tidak membuatku gentar, karena
aku yakin bahwa Ilvie adalah perempuan yang benar-benar aku inginkan. Cuma dia,
ya, dalam pikiranku saat ini cuma dia yang mampu membuat hidupku kembali
bahagia dan penuh warna.
Oktober 2012
“Sepertinya aku mulai menyayangi
kamu, Vie.”
“Benarkah itu?”
“Iya.”
“Aku… aku juga.”
Jantungku nyaris copot mendengar
ucapannya di telpon malam itu. Awal bulan ini seperti membuka sebuah harapan
yang sangat indah untuk hubungan kami berdua. Hubungan yang selama dua bulan
ini aku impi-impikan.
Tapi, masalah jarak membuat
kami khawatir. Pertemuanku dengannya belum juga terjadi, hal ini yang
menyebabkan kami tidak kunjung jadian. Bagaimana pun juga memang lebih baik
kami ketemu, berbincang-bincang, dan mengetahui lebih jauh tentang diri kita masing-masing sebelum benar-benar menjalani sebuah hubungan.
Tentu saja semua penting dilakukan, sebuah hal yang wajar kalau kami sama-sama
takut kecewa dalam masalah ini. Takut sakit setelah memilih, takut ditinggalkan
setelah benar-benar mengharapkan. Cinta mengenai ketulusan, kepercayaan, dan
keinginan untuk saling menjaga. Kami sama-sama berharap ini adalah kisah yang
nyata, bukan sekedar maya.
Memang, yang namanya jarak
dan waktu adalah hal yang cukup menyiksa. Seperti LDR, pasti memiliki berbagai
tantangan karena perpisahan jarak maupun waktu. Ini sebuah ujian dimana saat
raganya jauh, tapi hati dan cinta harus selalu dekat untuk saling mengikat.
“Kapan kita bertemu, Dit?”
“Secepatnya, Vie. Aku usahakan
setelah semua urusanku beres disini.”
“Aku menunggumu datang, sayang.”
Aku tersenyum penuh arti, hatiku
dipenuhi kebahagiaan yang belum pernah ku rasakan sebelumnya. Jatuh cinta pada
orang yang tepat dan cintanya disambut oleh orang yang tepat juga. Tidak ada
yang bisa menandingi kebahagiaanku saat ini.
16 Oktober 2012
“Dit, ada hal penting yang aku
harus omongin.”
“Ngomong aja, Vie.”
Malam itu kami berjumpa dalam
sebuah deringan telpon seluler. Membicarakan satu hal yang sama sekali tidak ku
sangka-sangka selama ini. Mungkin lebih tepatnya, ini berita yang amat sangat
mengejutkan untukku.
“Sepertinya kita nggak mungkin
ketemu, Dit.”, ucapnya lesu.
“Hah?! Kenapa?! Ada yang salah
denganku?!”, aku benar-benar terkejut mendengar kata-kata Ilvie.
“Enggak, bukan kamu, Dit. Aku
harus kembali ke Jeddah besok lusa, orang tuaku sudah meminta untuk kembali
kesana.”
“Secepat ini?”
“Iya.”
“Bagaimana dengan hubungan kita,
Vie?”
“…”
Aku hanya mendengar tangisan
lirih Ilvie setelah keheningan itu. Dia tak mampu menjawab, sama sepertiku yang
panik dan sangat sulit berpikir dengan logis.
Ilvie dan keluarganya memang
sudah sejak lama tinggal di Arab, mereka memiliki usaha travel disana. Aku tau
suatu saat hal ini akan terjadi, tapi aku tak menyangka harus secepat ini.
selama ini tidak terdengar kabar bahwa dia akan kembali ke Jeddah sebelum akhir
tahun, nyatanya hari itu datang juga. Lebih cepat dari yang aku bayangkan.
Kami hanya bisa bersedih terpisah
jarak. Kami tersiksa karena hubungan yang tak kunjung jelas. Sekuat apapun aku
menahan sakit, sekuat itu juga rasa cintaku untuknya.
17 Oktober 2012
“Jadi, besok sore kamu ke Jakarta
naik kereta?”
“Iya, Dit. Aku harus kembali ke
Jeddah. Ini juga demi saudaraku, aku nggak mungkin meninggalkannya sendiri
disana. Walaupun…”
“Walaupun apa, Vie?”
“Walaupun aku ingin sekali
bertemu kamu, bertemu untuk sekali saja demi kejelasan hubungan kita.”
“Kamu benar, aku juga memikirkan
hal yang sama.”
Aku mendengus pelan sebagai tanda
keluhan, mengeluh dengan keadaan kami yang semakin terpojokkan dan dikejar
waktu. Seolah kami berdua sedang dihadapkan oleh jalan terjal dan menemui
jurang. Aku dan Ivie kehabisan kata-kata di telpon, hanya terdiam dan
kebingungan.
Sebenarnya tidak masalah
dia pergi, yang menjadi masalah adalah kejelasan hubungan kami. Paling tidak
kami butuh bertatap muka 5 sampai 10 menit. Paling tidak kami bisa berbicara
secara langsung. Karena itu aku benar-benar tidak tau lagi harus bagaimana. Di
satu sisi aku ingin berjumpa dengannya, di sisi lain aku memiliki tanggung
jawab di kampus dan orang tuaku sendiri.
"Gimana ya? Aku pingin
ketemu kamu banget, Dit", suara Ilvie menunjukkan kekecewaan yang
mendalam.
"Aku juga nggak tau, Vie.
Kamu bakal pergi secepat ini", jawabku seadanya.
"Kita beneran gak bisa
ketemu ya, Dit? Sayang banget"
"Iya, Vie. Sayang
banget. Tapi, aku bakal nunggu kamu kok. Hatiku udah mentok di kamu. Sampai
kamu kembali ke Indonesia, aku bakal nunggu kamu dan tetap sayang sama kamu.
Semoga nanti saat kamu kembali, kamu masih punya keinginan dan rasa yang sama
seperti aku", aku mencoba untuk meyakinkan Ilvie.
"Ya, amin. Semoga saja
Dit. Aku juga nggak tau harus gimana lagi", suara Ilvie terdengar seperti
menahan tangis kesedihan. Aku tau dia tak ingin meninggalkan Indonesia secepat
ini, aku tau dia ingin bertemu denganku sebelum berangkat. Tapi, memang
kebaikannya dan kepedulian yang besar terhadap saudara serta orang tuanya
adalah sisi yang mau tak mau harus dituruti.
"Sering-sering kirim
voice note ya, Vie?", kataku
"Semoga ya, Dit",
dan terdengar tangisan dari telpon itu. Akhirnya Ilvie menangis terisak-isak
penuh kekecewaan.
Aku sedih, ingin rasanya
memeluk dirinya. Tapi, aku tak pernah ada di sampingnya. Ingin rasanya mengusap
air mata dan membelai kepalanya untuk menenagkan hatinya, sayang aku yang saat
ini belum mampu untuk melakukannya. Aku hanya bisa pasrah dengan keadaan yang
ada. Aku tidak ingin menyalahkan keadaan ini walaupun berat, buat aku semua
kejadian selalu ada hikmahnya. Buatku sendiri, hidup bukan sebuah kebetulan.
Walaupun bagi manusia ada istilah kebetulan seperti pertemuanku dengan Ilvie,
tapi aku yakin Tuhan sudah menulis takdir ini jauh sebelum kami berdua lahir ke
dunia.
18 Oktober 2012
Setelah tangisan kemarin
malam, pikiranku semakin kacau. Semua kegiatan terasa menjemuhkan, yang ada di
dalam otak hanya Ilvie seorang. Aku mungkin sudah gagal memperjuangkan cintaku
padanya saat itu, merasa gagal karena tidak mampu mengejar kebahagiaan yang
selama ini kami impikan. Takdir telah memutuskan apa yang harus kami hadapi,
sekarang semua terlambat saat Ilvie akan pergi dalam waktu yang cukup lama.
Hari ini menjadi hari
keberangkatan Ilvie ke Jakarta dengan keretanya. Besok dia sudah tiba dan siap
terbang menuju Jeddah untuk waktu yang lama. Sementara hubungan kami sama
sekali belum ada kejelasan. Hal ini diperparah dengan sikap Ilvie yang banyak
diam, tidak seperti Ilvie yang aku kenal. Mungkin kekecewaannya sangat besar,
sehingga kebahagiaan dan keceriaannya pun tak mampu kembali hari ini.
Siang harinya dering
telponku berbunyi, Ilvie menghubungiku setelah setengah hari ini tak ada kabar
dan berita.
“Dit, kamu sekarang di
Semarang, kan?”, tiba-tiba Ilvie bertanya.
“Iya, aku memang di
Semarang, Vie. Kenapa?”, tanyaku kebingungan.
“Kita bisa ketemu, kita
harus ketemu!”
“Hah?! Dimana?!”, aku
semakin kebingungan dengan kata-kata yang diucapkan Ilvie.
“Stasiun! Kita pasti bisa
ketemu, Dit! Kamu mau kan?”
“Hah?! Kamu berhenti di
stasiun Semarang?!”
“Iya! Semarang Poncol!
Oke?”
“I-iya, oke! Kabari aku
ya?”
“Iya pasti, sayang. Tunggu
kabarku.”
Berita yang sangat
mengejutkan dari Ilvie siang itu, lebih tepatnya mungkin gila. Ya, gila karena
ide spontan ini jarang sekali terpikirkan oleh kebanyakan orang. Hanya demi
sebuah ikatan, kepastian dan perasaan orang rela untuk berkorban. Hanya demi
cinta, orang rela untuk berlari dan terus berlari mengejarnya. Hanya demi
cinta, orang rela untuk menunggu walaupun kadang tak ada yang pasti. Sekarang
ini kami sedang berjuang melawan takdir, memberi waktu untuk cinta kami berdua.
Memberi kesempatan untuk hati semakin yakin dan bicara. Sebuah kepastian dan
pertemuan yang kami tunggu-tunggu sedang diperjuangkan mati-matian, olehku dan
Ilvie.
***
Satu jam kemudian Ilvie
berangkat menggunakan kereta ekonomi AC Matarmaja dari stasiun Malang kota
menuju Jakarta Pasar Senen. Setelah mendapat kejelasan kereta Ilvie, aku lalu
mulai mencari di internet tempat singgah dan jam-jam singgah kereta tersebut.
Teknologi memang membantu sekali, aku mendapatkan jadwalnya beserta stasiun
kedatangannya. Awalnya aku cukup bingung dengan stasiun tempat tiba kereta itu,
karena Ilvie mengatakan Poncol namun di internet kereta itu berhenti di Tawang.
Tapi, setelah aku menelpon stasiun Tawang, petugas mengatakan kalau Matarmaja
hanya berhenti di stasiun Poncol. Cukup lega, tapi belum lega kalau aku dan
Ilvie sampai gagal bertemu nantinya.
Aku meminta Ilvie untuk
memberitahu stasiun-stasiun tempat dia berhenti selama perjalanan, sambil aku
mengawasi jam. Aku mengakumulasi keterlambatan keretanya dan menghitung
perkiraan dia tiba di stasiun Semarang Poncol. Selain itu, aku juga meminta Ilvie
memberi kabar bila sudah tiba di stasiun Telawa. Hal ini menyebabkan Ilvie
tidak mungkin tidur sepanjang perjalanan, karena dia harus memperhatikan
stasiun yang dia singgahi terus menerus. Aku pun menunggu kabar darinya.
19 Oktober 2012
Ilvie tiba di stasiun
Telawa pukul 01.00, aku memiliki waktu sekitar satu setengah jam
lagi untuk sampai ke stasiun Semarang Poncol. Tanpa basa-basi aku
berangkat menuju stasiun yang cukup jauh dari tempat tinggalku tersebut. Aku
menancap gas mobil sampai ke batas maksimal kecepatan, aku takut terlambat
sampai stasiun. Sepanjang perjalanan aku berdoa agar usaha kami ini tidak
sia-sia, aku berdoa agar kami benar-benar bertemu untuk pertama kalinya.
Sesampainya di stasiun, aku
melihat jam telah menunjukkan pukul 02.30. Ternyata aku tiba tepat waktu,
petugas pintu masuk stasiun mengatakan bahwa kereta yang Matarmaja baru akan
masuk. Aku pun memasuki stasiun dan menyeberangi rel kereta menuju jalur 2,
tempat kereta itu masuk. Aku melihat keretanya melaju di hadapanku, kereta itu
lalu berhenti. Tanpa pikir panjang aku memberitahu Ilvie bahwa aku sudah ada di
sebelah keretanya.
“Gerbong berapa? Cepet! Keretanya
keburu berangkat.”
“Nomer 9, iya gerbong 9!”
“Aku kesana!”
Sialnya, letak gerbong 9
ada di paling belakang. Aku sendiri berdiri di gerbong paling depan. Dengan
sekuat tenaga aku berlari kencang, sudah tak ada lagi rasa kantuk dan lelah
yang terpikirkan, hanya terbayang keinginan untuk perjumpaan dan kepastian.
Aku yang terengah-engah
sehabis berlari sepanjang kereta pun menunggu sosok perempuan impianku. Sosok
perempuan yang selama ini aku cintai namun belum pernah aku lihat sama sekali.
Aku menunggu sambil mengkhawatirkan kereta yang bisa saja berangkat
sewaktu-waktu. Aku melihat handphone ku, dan aku menunggu
jawaban Ilvie yang tak kunjung keluar.
“Grek!!!”
Suara itu mengejutkanku
yang sedang serius melihat handphone. Aku menengadahkan kepala
sambil melihat ke hadapanku. Cahaya lampu gerbong yang sedari tadi menyinariku tertutup
oleh bayangan siluet wanita. Aku memicingkan mata melihat ke arah wanita yang
berdiri tepat di hadapanku itu. Aku akhirnya menyadari, bahwa itu Ilvie.
Perempuan impianku sekarang benar-benar ada di hadapanku. Perempuan yang aku
cinta sekarang ada di hadapanku.
Jantungku berhenti sesaat.
Tidak kusangkan sosok Ilvie yang terlihat cantik di foto, ternyata jauh lebih
cantik aslinya. Aku benar-benar terpesona dan terpaku beberapa detik karena
kecantikannya. Aku benar-benar speechless dengan lukisan
ciptaan Tuhan yang satu ini. Benar-benar indah bersinar, beda dengan perempuan
cantik dan manis yang selama ini aku temui maupun aku pacari. Ilvie menunduk
dengan senyumnya yang mengembang, dia menatapku. Menatapku dengan tatapan yang
penuh kelegaan, sama sepertiku yang juga lega dapat melihatnya.
Tanpa pikir panjang, aku
menyerahkan jaket yang aku bawa dari rumah untuknya. Ya, aku tau dia kedinginan
di kereta dan butuh jaket ini. Lalu, aku merogoh kantong celanaku, dan aku
mengambil fotoku yang sudah aku siapkan. Foto yang sengaja aku bawa untuk
diberikan padanya. Lalu, akupun mengangkat tanganku ke arahnya. Ilvie sedikit
menunduk dan menjulurkan tangannya padaku. Kami sudah tidak peduli lagi dengan
orang-orang yang ada di pembatas gerbong yang sedari tadi melihat kami berdua.
Kami saling bergenggaman tangan, cukup lama padahal aku hanya ingin menyerahkan
foto. Kami berdua saling menggenggam tangan seolah tak ingin terlepas. Kami
menarik tangan pelan-pelan seolah belum rela untuk terpisah.
Akhirnya karena kondisi
yang lumayan berisik yang menyebabkan kami tidak bisa mendengar suara
masing-masing, aku memutuskan untuk mengatakan sesuatu pada Ilvie lewat bbm.
Aku memberi isyarat untuk melihat bbm nya, aku memberi isyarat agar dia juga
mengenakan jaket yang aku berikan. Lalu, aku menyuruhnya untuk duduk ke
bangkunya lagi. Karena kondisi yang sangat tidak kondusif ini, aku dan dia tak
mampu ada di satu pijakan yang sama. Aku tak mampu masuk ke dalam kereta, dia
pun tak mampu turun dari kereta. Ilvie pun duduk di bangkunya lagi, sedangkan
aku menyebrang ke arah jalur satu untuk menunggu kereta Ilvie lewat, pergi
meninggalkan stasiun.
“Jadi, kamu mau jadi pacarku? :D”
Aku memang ingin
menembaknya tadi, tapi karena bising dan tidak kondusif, akupun harus
mengatakan lewat bbm. Tidak beberapa lama, Ilvie membalas.
“Emmm... Mau gak ya?”
Aku mulai takut, takut dia
menolakku. Kemudian dia mengirim bbm lagi kepadaku.
“Kamu lucu ya ternyata. :3Iya, aku mau jadi pacar kamu. :3”
Seketika jantungku seperti
meledak. Rasa senang, bahagia, semuanya bercampur aduk. Ilvie yang selama ini
aku impikan akhirnya menjadi pacarku. Konyol memang, aku menembaknya melalui
bbm. Tapi keadaan memang memaksaku untuk melakukannya, setidaknya kami sudah
bertemu dan sekarang waktunya kami untuk memutuskan hubungan kami akan seperti
apa.
“Serius? :o”
Aku masih tidak percaya,
ya, aku belum yakin dengan jawaban Ilvie.
“Ciyus, aku mau :3”
Jawaban Ilvie membuatku
bahagia dan merasa lega. Aku pun tersenyum puas dengan usaha yang telah kami
lakukan. Walaupun kami hanya mampu bertatap muka selama 5 menit, tapi itu cukup
membuat kami tau sama tau. Walaupun kami hanya bertatap muka selama 5 menit,
tapi waktu itu cukup menyalurkan perasaan kami berdua.
Kereta Ilvie pun mulai
bergerak maju meninggalkan stasiun. Akhirnya gerbong nomor 9 pun lewat,
terlihat Ilvie mengenakan jaket yang aku berikan sambil bersandar pada jendela
memandangiku. Dia tersenyum sangat manis dan melambaikan tangannya padaku. Aku
membalas lambaian tangannya dengan tersenyum.
Aku melihat kereta itu sampai
menghilang dari pandangan.
Aku pun melangkah keluar
dari stasiun dengan puas. Aku sedih dia pergi cukup lama, tapi ini bukan
saatnya menangis, karena cerita kami berdua baru di mulai. Ini bukan perpisahan
dan akhir segalanya, ini justru pembuka dari bab baru yang ada di kehidupan
kami. Bab baru yang akan menceritakan tentang perjalanan cinta kami.
Aku puas dengan apa yang
telah terjadi. Aku bisa bertemu dengannya. Benar, kalau saling mencintai, keduanya
akan berusaha, bukan hanya satu orang saja. Ilvie telah berusaha, aku pun telah
berusaha juga. Kami berdua berhasil mewujudkan keinginan kami dengan usaha
bersama. Ya, cinta itu luar biasa, asalkan keduanya berusaha, pasti ada jalan
keluar. Hari ini kami berdua berhasil membuktikannya di gerbong kereta nomor 9.
*****
http://mesinatm-24jam.com/?id=erwinska
ReplyDelete